YLBHI: Polisi Sangat Militeristik, Kekerasan dengan Senjata Sangat Mudah Dilakukan
JAKARTA, KOMPAS.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap sikap militeristik yang ditunjukkan oleh kepolisian saat ini.
Sebab, menurut YLBHI, penggunaan kekerasan, terutama dengan senjata api, semakin mudah dilakukan oleh aparat kepolisian.
“Tapi yang kita lihat hari ini polisi sangat militeristik. Pendekatan kekerasan menggunakan senjata itu sangat mudah dilakukan,” kata Wakil Ketua YLBHI Bidang Advokasi Arif Maulana dalam konferensi pers daring di YouTube Yayasan LBH Indonesia, Minggu (8/12/2024).
YLBHI mendesak Polri untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait penggunaan senjata, termasuk senjata api.
Arif menegaskan bahwa evaluasi ini merupakan langkah kecil menuju reformasi di tubuh Korps Bhayangkara.
Reformasi tersebut diharapkan dapat menjadikan Polri lebih demokratis, menghormati hak asasi manusia, serta menghindari pendekatan kekerasan seperti pada masa Orde Baru ketika masih berada di bawah ABRI.
Arif menjelaskan, sebetulnya ada aturan yang membatasi Polri terkait penggunaan senjata, termasuk senjata api. Namun, beleid ini tidak diimplementasikan.
“Pertanyaannya apakah tidak ada aturan main yang kemudian membatasi mereka? Jawabannya ada, tetapi tidak diimplementasikan, tidak ditegakkan,” ujar Arif.
Lebih lanjut, YLBHI menyatakan bahwa saat ini telah terjadi situasi darurat terkait penggunaan senjata api oleh kepolisian.
Selain senjata api, YLBHI juga menyoroti masalah penggunaan gas air mata dan tindakan berlebihan atau excessive use of force oleh aparat.
“Saya ingin kemudian mengatakan hari ini situasinya darurat berkait dengan kesewenang-wenangan, penyalahgunaan senjata api oleh kepolisian,” tegas Arif.
YLBHI juga mencatat adanya impunitas dalam berbagai kasus penembakan oleh anggota polisi, seperti yang terjadi di Semarang dan Lampung.
“Terjadi impunitas yang luar biasa. Tidak ada proses penegakan hukum yang transparan dan akuntabel terhadap penyalahgunaan kewenangan, pembunuhan di luar proses hukum, dan juga berbagai persoalan yang hari ini mengemuka,” tambahnya.
Arif menambahkan bahwa polisi terkesan menutupi kasus-kasus yang melibatkan anggotanya.
Dalam beberapa kasus, polisi malah menyalahkan korban dengan memberikan stigma negatif terhadap keluarga, seperti menuduh mereka sebagai penjahat atau pelaku tawuran, dengan upaya mengaburkan fakta.
“Yang terjadi justru adalah upaya untuk menutup-nutupi kasus, kemudian menyalahkan korban, bahkan kemudian melakukan stigma yang begitu kejam terhadap keluarga, menuduh mereka penjahat, pelaku tawuran, narkotika, dan lain sebagainya dengan upaya mengaburkan fakta. Ini tentu melanggar prinsip praduga tidak salah,” tuturnya.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penembakan seorang siswa pelajar SMKN 4 Semarang berinisial G oleh anggota polisi, Aipda Robig (RZ) pada Minggu (24/11/2024).
Dalam insiden tersebut, G dan dua rekannya juga tertembak dan masih dalam perawatan.
Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar sebelumnya menjelaskan bahwa penembakan terjadi saat polisi berusaha melerai tawuran pelajar.
"Saat kedua kelompok gangster ini melakukan tawuran, muncul anggota polisi. Kemudian dilakukan upaya untuk melerai. Namun, ternyata anggota polisi informasinya diserang, sehingga dilakukan tindakan tegas," kata Irwan, Senin (25/11/2024).
Namun, pernyataan ini bertentangan dengan kesaksian seorang petugas keamanan yang menyatakan tidak ada tawuran di lokasi kejadian.
Kabid Propam Polda Jawa Tengah Kombes Aris Supriyono kemudian mengungkapkan bahwa penembakan oleh Aipda Robig tidak terkait dengan upaya membubarkan tawuran.
Ia menjelaskan bahwa Robig menembak G dan teman-temannya yang melintas menggunakan sepeda motor karena kesal kendaraannya terpepet oleh rombongan G.
“Motif yang dilakukan oleh terduga pelanggar dikarenakan pada saat perjalanan pulang, mendapat satu kendaraan yang memakan jalannya, terduga pelanggar jadi kena pepet,” kata Aris dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi III DPR RI, Selasa (3/12/2024).