Yusril: RUU Perampasan Aset Harus Dirumuskan dengan Cermat dan Menjamin HAM
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menekankan pentingnya perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang cermat, adil, serta menjamin Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (8/11/2024), Yusril menyatakan bahwa pemerintahan Prabowo akan melanjutkan pembahasan RUU tersebut yang telah diajukan ke DPR, tanpa niatan untuk menariknya kembali.
"Sehingga harus dirumuskan dengan cermat agar menjamin keadilan, kepastian hukum, dan HAM," ujar Yusril.
Yusril menjelaskan, RUU Perampasan Aset merupakan hal baru dalam peraturan perundang-undangan.
Ia menegaskan, perampasan aset harus dipisahkan dari penyitaan bukti yang dituangkan dalam putusan pengadilan.
"Selama ini kita hanya mengenal penyitaan dalam proses penyidikan dan perampasan atas harta benda/barang bukti yang dituangkan dalam putusan pengadilan. Perampasan ini di luar kategori itu," tambahnya.
Lebih lanjut, Yusril menyatakan, pendalaman terhadap RUU tersebut akan dilakukan saat dibahas dengan DPR.
"Publik dan para pakar dapat menyumbangkan pikiran dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPR," ucap dia.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengungkapkan bahwa RUU Perampasan Aset sangat dibutuhkan untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi dan memulihkan kerugian negara.
"Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, memperkuat sistem hukum, memulihkan kerugian negara, sekaligus mematuhi standar internasional," kata Tessa dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (29/10/2024).
Tessa menambahkan bahwa RUU ini juga akan memungkinkan negara untuk menyita hasil kejahatan, termasuk aset-aset yang disembunyikan di luar negeri.
Ia menjelaskan bahwa pelaku korupsi sering kali menyembunyikan atau mentransfer aset mereka agar tidak bisa dijangkau oleh otoritas hukum.
Perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture) akan menjadi alat yang kuat untuk memulihkan kekayaan negara.
"Alhasil, rampasan tersebut dapat meningkatkan penerimaan negara sebagai salah satu modal pembangunan nasional. Hal ini akan memberikan dampak langsung terhadap penguatan keuangan negara serta mendukung program-program sosial lainnya," ujarnya.
Tessa juga menekankan bahwa negara-negara yang memiliki undang-undang kuat dalam hal perampasan aset hasil kejahatan cenderung dipandang lebih kredibel dan memiliki kepercayaan lebih besar dalam hubungan internasional, baik dari segi ekonomi maupun hukum.
"Hal tersebut juga dapat memperkuat hubungan bilateral dan multilateral Indonesia dengan negara-negara yang memiliki kerangka hukum serupa," ujarnya