Zarof Ricar Ditangkap, ICW Dorong Kejagung Ungkap Tiga Kejahatan Ini
JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, merupakan langkah awal bagi penyidik untuk membongkar praktik mafia peradilan di lembaga kekuasaan kehakiman.
Penemuan barang bukti berupa uang ratusan miliar dan puluhan kilogram emas di kediaman Zarof menjadi petunjuk yang jelas untuk menindaklanjuti penyelidikan.
"Logika sederhana saja, dibandingkan dengan harta kekayaannya pada Maret 2022 yang hanya berjumlah Rp 51,4 miliar, tentu uang ratusan miliar tersebut terbilang janggal dan patut ditelusuri lebih lanjut," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Selasa (29/10/2024).
Kurnia menyebutkan ada tiga potensi kejahatan yang perlu didalami oleh tim penyidik Kejaksaan Agung terkait dengan Zarof Ricar.
Pertama, Kurnia menyoroti praktik suap-menyuap.
Ia menjelaskan, suap dapat terjadi jika uang atau emas yang ditemukan di kediaman Zarof merupakan hasil dari pengurusan suatu perkara di MA atau pengadilan lainnya.
Meskipun Zarof bukan hakim, ia berpotensi menjadi broker atau perantara suap kepada oknum internal MA.
"Praktik dengan modus memperdagangkan pengaruh yang serupa dengan kasus tersebut pernah terjadi, yakni saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kejahatan mantan Sekretaris MA, Nurhadi," ujarnya.
Potensi kejahatan kedua adalah gratifikasi.
Kurnia menjelaskan, praktik ini dapat dilihat dari asumsi bahwa temuan uang dan emas tersebut didapatkan Zarof dari sejumlah pihak yang tidak jelas asal-usulnya.
"Jika menggunakan delik gratifikasi (Pasal 12B UU Tipikor), maka beban pembuktian akan berpindah dari penuntut umum ke Zarof sendiri. Pembuktian terbalik ini akan menyasar terdakwa bila tak bisa menjelaskan secara utuh disertai dengan bukti relevan mengenai harta yang ditemukan penyidik di kediamannya," tuturnya.
Potensi kejahatan ketiga adalah pencucian uang.
Kurnia menegaskan, delik ini dapat diterapkan jika ditemukan bukti bahwa Zarof menyembunyikan perolehan harta hasil kejahatan.
"Lebih jauh lagi, pelaku dalam konteks pencucian uang tidak hanya dapat menjerat Zarof, melainkan juga pihak lain yang turut menerima dana hasil kejahatan," kata dia.
Kurnia menegaskan bahwa kondisi lembaga peradilan saat ini mengkhawatirkan, sehingga diperlukan langkah luar biasa untuk membersihkan mafia peradilan dan mengembalikan citra lembaga tersebut di mata publik.
Adapun rekomendasi dari ICW adalah
Ketua Mahkamah Agung baru, Sunarto, harus menjamin bahwa proses hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tidak akan diintervensi oleh pihak manapun.
Mahkamah Agung perlu berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain, seperti Komisi Yudisial, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, untuk menyusun pemetaan terhadap korupsi di sektor peradilan.
Kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman harus diperkuat untuk menghindari potensi konflik kepentingan.
Sebelumnya, penangkapan Zarof Ricar terjadi setelah penyidik Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan pengacara Gregorius Ronald Tannur.
Zarof ditangkap di Bali pada Kamis (24/10/2024) dan merupakan pensiunan pegawai negeri sipil di MA.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Abdul Qohar mengungkapkan bahwa Zarof terlibat dalam pengurusan perkara di MA dengan fee sebesar Rp 1 miliar.
Penyidik juga menemukan uang tunai hampir Rp 1 triliun dan 51 kilogram emas Antam di kediaman Zarof.