Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan secara serentak di seluruh di Indonesia pada 27 November mendatang. Sebanyak 1.467 bakal pasangan calon kepala daerah telah mendaftar dan akan berkontestasi untuk memperebutkan kursi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Semakin dekat dengan pencobolosan, suhu politik juga semakin panas. Masing-masing kontestan berupaya untuk menggaet suara dari berbagai lapisan masyarakat. Salah satu segmen pemilih yang menjadi incaran adalah aparat pemerintah karena mereka dapat menggerakkan mesin birokrasi untuk mendulang suara. Beberapa waktu lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Semarang mendatangi pertemuan kepala desa se-Jawa Tengah yang dilaksanakan di sebuah hotel bintang lima di Semarang (detikcom, 24/10). Pertemuan yang diikuti oleh kurang lebih 90 kepala desa itu diduga terkait dengan salah satu pasangan calon Gubernur Jawa Tengah. Empat hari setelah kejadian tersebut, Bawaslu bersama dengan Direktorat Jenderal Bina Pemdes, Kemendagri mengadakan konferensi pers dan berbicara tentang netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jakarta (detikcom, 28/10). Apakah sebenarnya isu sentral dari netralitas birokrasi? Tulisan singkat ini berargumen bahwa isu yang mendasar bukanlah pada ketidaknetralan birokrasi, tetapi bagaimana rezim mendisain agenda politisasi birokrasi untuk kepentingan politik elektoral. Secara normatif, birokrasi di Indonesia didisain sebagai mesin pemerintah yang profesional. Menganut prinsip birokrasi Weberian, orang-orang yang duduk di dalam birokrasi pemerintah dituntut untuk netral. Netral di sini bermakna multi-dimensional yaitu meliputi pelaksanaan tugas sehari-hari untuk melayani semua lapisan masyarakat tanpa diskriminatif, termasuk netral dan tidak memihak dalam politik elektoral. Terkait dengan peran pegawai negeri dalam pemilu, pemerintah telah berkomitmen menjaga netralitas birokrasi. Kerangka regulasi tentang netralitas ini telah diatur dalam undang-undang dan peraturan teknis pelaksanaan. Bahkan jauh sebelum Pemilu 2024, tepatnya pada September 2022, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Menteri Dalam Negeri, Plt. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), serta Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas ASN. Namun apakah dengan adanya instrumen-instrumen kebijakan dimaksud sudah efektif menanggulangi potensi pelanggaran netralitas pegawai negeri? Indikasi-indikasi penggunaan aparatur negara untuk kepentingan politik elektoral masih banyak kita dengar, walaupun secara yuridis dan fakta hukum masih perlu pembuktian.Politisasi Birokrasi Berkaca dari lintasan sejarah hubungan politik dan birokrasi dalam tujuh dekade terakhir, politisi dengan mudah melakukan politisasi birokrasi karena relasi kekuasaan asimetris antara pejabat politis yang dipilih (elected official) dan pejabat eselon di bawah pejabat politik (appointed official). Pengalaman rezim Orde Baru dalam mengendalikan ABRI, birokrasi pemerintah, dan Golkar (ABG), memberikan pelajaran berharga bagaimana penguasa pada waktu itu merusak sistem demokrasi dan birokrasi dengan strategi kooptasi.