Tahta tertinggi negeri ini adalah viral. Celotehan seorang warganet di kolom komentar satu akun Instagram dengan pengikut mencapai jutaan tersebut muncul di antara puluhan ribu komentar lain yang menyerbu dalam unggahan berita pengunduran diri Miftah Maulana Habiburrahman atau akrab disapa Gus Miftah yang kini berstatus sebagai mantan Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto untuk bidang Kerukunan Umat Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan –belakangan mengundurkan diri.Semua bermula dari aksi Miftah Maulana yang mengolok-olok seorang penjual es teh yang berdagang saat dia mengisi acara pengajian pada akhir November lalu. Aksi tersebut tak pelak memicu gelombang kecaman yang ditujukan kepada Miftah karena dinilai sangat merendahkan. Bahkan keriuhan tersebut pun gaungnya sampai ke negeri jiran Malaysia yang membuat Perdana Menteri Anwar Ibrahim turut berkomentar.Sebelumnya, masyarakat juga sempat diramaikan oleh kasus Agus Salim, korban penyiraman air keras hingga mengalami kebutaan, yang justru melancarkan somasi terhadap orang yang membantunya menggalang donasi dari masyarakat untuk membantu pengobatan dirinya. Kasus ini menjadi viral lantaran Agus diduga menyelewengkan donasi sebesar Rp 1,5 miliar itu untuk kebutuhan lain di luar urusan pengobatan. Belakangan kasus ini berujung laporan ke Polda Metro Jaya hingga akhirnya Kementerian Sosial pun turun tangan untuk mengatasi kekisruhan tersebut.Lantas, benarkah saat ini semua hal di negeri ini harus ramai dulu di media sosial alias viral, baru menjadi perhatian seluruh kalangan seperti celotehan warganet itu? Kendati menyedihkan, tampaknya fenomena itulah yang terjadi. Beragam survei dan penelitian telah mengungkapkan dengan gamblang bahwa masyarakat Indonesia termasuk yang gemar berlama-lama bermain media sosial. Dalam penelitian terbaru pada Desember 2024, orang Indonesia tercatat paling senang berlama-lama menonton di media sosial berbagi video dan tercatat menghabiskan waktu rata-rata hingga 41 jam tiap bulan.Dilansir dari laporan Digital 2024 Indonesia yang dirilis oleh We Are Social, warganet Indonesia menghabiskan 7 jam 38 menit setiap hari untuk mengakses internet terutama media sosial. Dengan alasan mengisi waktu luang, warganet Indonesia pun betah berlama-lama berselancar di jagat maya ketimbang bersosialisasi di dunia nyata. Fenomena ini pun kemudian diikuti dengan kenyataan yang saat ini tak bisa terelakkan media massa makin kehilangan taringnya. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, media massa mulai terpinggirkan. Jika dulu media massa tampil sangat digdaya hingga muncul teori jarum hipodermik yang menyebutkan bahwa media massa sangat perkasa, saat ini lain ceritanya. Kini, Harold Laswell, pencetus teori tersebut, boleh jadi akan kecewa karena teorinya kini terpatahkan oleh kehadiran media sosial yang digemari seluruh lapisan masyarakat. Media massa kini boleh dibilang hadir seperti media pelengkap dari ranah media secara umum. Padahal, menghadapi gempuran teknologi informasi, media massa tidak tinggal diam. Kita pun mengenal istilah konvergensi media. John V. Pavlik dan Shawn McIntosh lewat bukunya yang berjudul Converging Media A New Introduction to Mass Communication menuturkan tentang konvergensi media sebagai proses integrasi berbagai jenis komunikasi dan teknologi media. Proses tersebut mencakup penggabungan media massa konvensional (seperti surat kabar, televisi, dan radio) dengan teknologi digital (seperti internet dan perangkat seluler). Berkat adanya konvergensi media itulah, cara informasi diproduksi, didistribusikan, dan didistribusikan telah berubah drastis. Akibatnya, Pavlik dan McIntosh turut menelisik kemunculan berbagai aspek konvergensi, seperti perkembangan teknologi, perubahan perilaku audiens, dan konsekuensi terhadap ekonomi dan etika media.Belum cukup dengan konvergensi, media massa pun berusaha melakukan komodifikasi. Dalam konteks media massa, istilah komodifikasi merujuk pada pengemasan informasi yang disajikan dengan standar industri hiburan sehingga dinilai lebih menarik dan bernilai ekonomis sehingga bisa menarik perhatian pengiklan sekaligus meningkatkan daya jual media. Celakanya, upaya ini belakangan justru terasa mengerdilkan nilai-nilai jurnalisme yang dianut pers.Namun, upaya tersebut pun tampaknya tidak terlalu berhasil untuk mengalahkan kedigdayaan internet dan media sosial. Satu hal yang paling mudah terlihat adalah generasi Z yang merasa asing dengan eksistensi media massa. Mereka justru lebih akrab dengan beragam platform media sosial dibandingkan dengan keberadaan media massa termasuk media yang sudah mapan sekalipun.Lantas, apakah media massa akhirnya punah tergerus zaman yang kini makin semarak pula dengan kehadiran teknologi kecerdasan buatan? Tentunya kita berharap hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Bagaimanapun, media massa masih menjadi andalan masyarakat untuk memperoleh informasi yang berimbang, kredibel, dan tidak berpihak. Demi menjaga itu, media massa harus memastikan tetap berpegang teguh pada kaidah jurnalistik dan bersikap objektif dalam pemberitaan. Media massa atau pers kukuh berpegang pada prinsip agar tetap menjadi garda terdepan dalam menjunjung tinggi demokrasi. Hingga istilah fourth estate alias kekuatan keempat yang selama ini dibanggakan oleh kalangan pers tak berhenti sekadar slogan atau ‘omon-omon’ saja.Natalia Endah Hapsari, M.I.K dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang, praktisi media