Gus Miftah Hina Penjual Es Teh

Goblok: Makian, Candaan, Verbal Repertoir

Goblok: Makian, Candaan, Verbal Repertoir

()

Kata ‘goblok’ akhir-akhir ini menjadi sangat populer di media sosial. Hal ini terjadi lantaran kata tersebut dianggap sebagai suatu bentuk abusive yang dilakukan oleh seorang pemuka agama kepada pedagang es teh dalam sebuah acara pengajian. Peristiwa ini kian viral karena penceramah tersebut menjadi bagian dari kabinet kerja yang belum lama diresmikan oleh pemerintah. Konteks tersebut menjadi penyebab tajamnya tingkat sensitivitas dan sinisme netizen. Bahkan hingga yang bersangkutan menyatakan mengundurkan diri dari jabatan di pemerintahan, pembicaraan mengenai masalah ini belum juga berakhir. Sebetulnya, kata ‘goblok’ dapat ditafsirkan secara ambivalensi jika menanggalkan kontekstual. Di satu sisi, ‘goblok’ seringkali menjadi instrumen keakraban yang ditunjukkan oleh pemakai bahasa dan interlokutornya. Namun, di sisi lain, goblok juga merupakan bentuk makian yang mampu melukai dan menyinggung perasaan lawan tutur yang menjadi objek referensi ucapan. Untuk itu, menjadi penting memandang kata ‘goblok’ melalui pandangan linguistik sekaligus melihat secara kontekstual mengapa kata tersebut menjadi begitu sensitif seperti sekarang. Variasi Bahasa

Kasus Gus Miftah dan Denormalisasi Guyonan Problematik

Kasus Gus Miftah dan Denormalisasi Guyonan Problematik

()

Jika blunder Gus Miftah kita tarik lebih jauh, kita akan menyadari bahwa guyonan tersebut merupakan sesuatu yang kerap kita temui, di antaranya di acara tabligh akbar. Jika kita mau bertanya, kenapa sebagian pendakwah ‘senang’ guyon saat mengisi tabligh akbar, setidaknya ada dua skenario edukasional-kultural yang turut membentuk kebiasaan tersebut. Selain, tentu saja, karakter si pendakwah itu sendiri.

Pertama, adanya ekspektasi kultural terhadap tabligh akbar yang selain harus ‘mencerahkan’, tetapi juga harus ‘menghibur’. Maklum, tabligh akbar biasa dilaksanakan larut malam, kalau tidak ger-geran ya jemaah tidur atau pulang. Tidak heran, di kalangan masyarakat (dan pendakwah) tradisional, muncul joke kodian yang ‘dilestarikan’ dari generasi ke generasi. Salah satunya, melalui lembaga pendidikan keislaman seperti pesantren di mana kemampuan menginkorporasi joke di dalam dakwah menjadi bagian dari soft skills yang dikembangkan –disadari maupun tidak, disistemasi maupun tidak.

Gus, Agus, dan Kisah Negeri Viral

Gus, Agus, dan Kisah Negeri Viral

()

Tahta tertinggi negeri ini adalah viral. Celotehan seorang warganet di kolom komentar satu akun Instagram dengan pengikut mencapai jutaan tersebut muncul di antara puluhan ribu komentar lain yang menyerbu dalam unggahan berita pengunduran diri Miftah Maulana Habiburrahman atau akrab disapa Gus Miftah yang kini berstatus sebagai mantan Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto untuk bidang Kerukunan Umat Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan –belakangan mengundurkan diri.Semua bermula dari aksi Miftah Maulana yang mengolok-olok seorang penjual es teh yang berdagang saat dia mengisi acara pengajian pada akhir November lalu. Aksi tersebut tak pelak memicu gelombang kecaman yang ditujukan kepada Miftah karena dinilai sangat merendahkan. Bahkan keriuhan tersebut pun gaungnya sampai ke negeri jiran Malaysia yang membuat Perdana Menteri Anwar Ibrahim turut berkomentar.Sebelumnya, masyarakat juga sempat diramaikan oleh kasus Agus Salim, korban penyiraman air keras hingga mengalami kebutaan, yang justru melancarkan somasi terhadap orang yang membantunya menggalang donasi dari masyarakat untuk membantu pengobatan dirinya. Kasus ini menjadi viral lantaran Agus diduga menyelewengkan donasi sebesar Rp 1,5 miliar itu untuk kebutuhan lain di luar urusan pengobatan. Belakangan kasus ini berujung laporan ke Polda Metro Jaya hingga akhirnya Kementerian Sosial pun turun tangan untuk mengatasi kekisruhan tersebut.Lantas, benarkah saat ini semua hal di negeri ini harus ramai dulu di media sosial alias viral, baru menjadi perhatian seluruh kalangan seperti celotehan warganet itu? Kendati menyedihkan, tampaknya fenomena itulah yang terjadi. Beragam survei dan penelitian telah mengungkapkan dengan gamblang bahwa masyarakat Indonesia termasuk yang gemar berlama-lama bermain media sosial. Dalam penelitian terbaru pada Desember 2024, orang Indonesia tercatat paling senang berlama-lama menonton di media sosial berbagi video dan tercatat menghabiskan waktu rata-rata hingga 41 jam tiap bulan.Dilansir dari laporan Digital 2024 Indonesia yang dirilis oleh We Are Social, warganet Indonesia menghabiskan 7 jam 38 menit setiap hari untuk mengakses internet terutama media sosial. Dengan alasan mengisi waktu luang, warganet Indonesia pun betah berlama-lama berselancar di jagat maya ketimbang bersosialisasi di dunia nyata. Fenomena ini pun kemudian diikuti dengan kenyataan yang saat ini tak bisa terelakkan media massa makin kehilangan taringnya. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, media massa mulai terpinggirkan. Jika dulu media massa tampil sangat digdaya hingga muncul teori jarum hipodermik yang menyebutkan bahwa media massa sangat perkasa, saat ini lain ceritanya. Kini, Harold Laswell, pencetus teori tersebut, boleh jadi akan kecewa karena teorinya kini terpatahkan oleh kehadiran media sosial yang digemari seluruh lapisan masyarakat. Media massa kini boleh dibilang hadir seperti media pelengkap dari ranah media secara umum. Padahal, menghadapi gempuran teknologi informasi, media massa tidak tinggal diam. Kita pun mengenal istilah konvergensi media. John V. Pavlik dan Shawn McIntosh lewat bukunya yang berjudul Converging Media A New Introduction to Mass Communication menuturkan tentang konvergensi media sebagai proses integrasi berbagai jenis komunikasi dan teknologi media. Proses tersebut mencakup penggabungan media massa konvensional (seperti surat kabar, televisi, dan radio) dengan teknologi digital (seperti internet dan perangkat seluler). Berkat adanya konvergensi media itulah, cara informasi diproduksi, didistribusikan, dan didistribusikan telah berubah drastis. Akibatnya, Pavlik dan McIntosh turut menelisik kemunculan berbagai aspek konvergensi, seperti perkembangan teknologi, perubahan perilaku audiens, dan konsekuensi terhadap ekonomi dan etika media.Belum cukup dengan konvergensi, media massa pun berusaha melakukan komodifikasi. Dalam konteks media massa, istilah komodifikasi merujuk pada pengemasan informasi yang disajikan dengan standar industri hiburan sehingga dinilai lebih menarik dan bernilai ekonomis sehingga bisa menarik perhatian pengiklan sekaligus meningkatkan daya jual media. Celakanya, upaya ini belakangan justru terasa mengerdilkan nilai-nilai jurnalisme yang dianut pers.Namun, upaya tersebut pun tampaknya tidak terlalu berhasil untuk mengalahkan kedigdayaan internet dan media sosial. Satu hal yang paling mudah terlihat adalah generasi Z yang merasa asing dengan eksistensi media massa. Mereka justru lebih akrab dengan beragam platform media sosial dibandingkan dengan keberadaan media massa termasuk media yang sudah mapan sekalipun.Lantas, apakah media massa akhirnya punah tergerus zaman yang kini makin semarak pula dengan kehadiran teknologi kecerdasan buatan? Tentunya kita berharap hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Bagaimanapun, media massa masih menjadi andalan masyarakat untuk memperoleh informasi yang berimbang, kredibel, dan tidak berpihak. Demi menjaga itu, media massa harus memastikan tetap berpegang teguh pada kaidah jurnalistik dan bersikap objektif dalam pemberitaan. Media massa atau pers kukuh berpegang pada prinsip agar tetap menjadi garda terdepan dalam menjunjung tinggi demokrasi. Hingga istilah fourth estate alias kekuatan keempat yang selama ini dibanggakan oleh kalangan pers tak berhenti sekadar slogan atau ‘omon-omon’ saja.Natalia Endah Hapsari, M.I.K dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang, praktisi media

Mundur dari Utusan Presiden, Gus Miftah Sudah Bicara dengan Mayor Teddy

Mundur dari Utusan Presiden, Gus Miftah Sudah Bicara dengan Mayor Teddy

()

Pendakwah Miftah Maulana Habiburahman alias Gus Miftah memutuskan mengundurkan diri dari jabatan utusan khusus Presiden setelah viral mengolok-olok penjual es teh. Gus Miftah pun mengaku sudah menyampaikan ini kepada Seskab Mayor Teddy.

"Saya belum berkomunikasi dengan beliau (Presiden Prabowo), karena sekali lagi saya sampaikan tidak ada tekanan dari siapa pun, tidak ada permintaan dari siapa pun, tapi saya sudah berkomunikasi dengan Pak Seskab," kata Gus Miftah saat konferensi pers, Jumat (6/12/2024).

Jam Tangan Mewah Disorot, Gus Miftah Bilang Itu Barang Lama

Jam Tangan Mewah Disorot, Gus Miftah Bilang Itu Barang Lama

()

Pengasuh Ponpes Ora Aji Miftah Maulana Habiburahman atau Gus Miftah menyatakan mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden. Dalam kesempatan itu, Gus Miftah juga menjawab soal jam tangan mewah yang ramai disorot.

"Saya dianggap menjadi pejabat baru satu bulan setengah. Artinya sampai hari ini pun saya belum menerima gaji dari negara," ujar Miftah, dalam tayangan live CNN Indonesia, Jumat (6/12/2024). Gus Miftah menjawab soal penggunaan jam tangan mewah yang ramai disorot belakangan ini.

PM Malaysia Anwar Ibrahim Ikut Soroti Gus Miftah yang Hina Penjual Teh

PM Malaysia Anwar Ibrahim Ikut Soroti Gus Miftah yang Hina Penjual Teh

()

Video Gus Miftah menghina penjual es teh sangat viral di media sosial Indonesia. Saking viralnya, kabar heboh itu sampai ke telinga Perdana Menteri (PM) Malaysia, Anwar Ibrahim.

Dilansir Antara, Jumat (6/12/2024), Anwar membahas isu tersebut di hadapan jajaran Kementerian Keuangan Malaysia dalam acara ‘Majelis Warga Kementerian Keuangan bersama Perdana Menteri dan Menteri Keuangan’ yang diikuti secara daring di Kuala Lumpur, Kamis (5/12).

"Di Indonesia beberapa hari ini riuh rendah dalam media sosial, seorang kyai, gus, dalam dakwahnya menghina seorang penjual teh. Oh ada yang nonton ya? Saya, teman-teman di Indonesia ada yang kirim, dan (video itu) jadi viral," kata Anwar.