Kata-Kata Hari Ini

Siapa yang (Tidak) Butuh Kata-Kata Hari Ini?

Siapa yang (Tidak) Butuh Kata-Kata Hari Ini?

()

Ada hari-hari ketika dunia tampak seperti papan tulis yang terlalu sering dihapus—berdebu, abu-abu, kehilangan ketajaman. Kata-kata meluruh, terseret dalam jadwal yang sesak atau sunyi yang terlalu nyaring. Pada saat seperti itu, kita tidak sedang mencari solusi, hanya pengingat bahwa ada makna di sela-sela absurditas yang terus menumpuk.Seorang teman pernah berkata, "Kadang kita hanya butuh satu kalimat yang cukup kuat untuk menopang kepala kita." Sebaris frasa sederhana, tanpa pretensi, namun mampu menahan jiwa dari jurang. Bukan motivasi berlebihan, hanya pengakuan kecil bahwa lelah adalah bagian dari hidup. Bahwa tubuh dan pikiran manusia sering tak cukup untuk memikul dunia.Pernahkah Anda terjebak dalam scroll, melihat wajah-wajah asing di layar ponsel? Wajah itu bisa milik tukang ojek dengan jaket lusuh, nenek penjual rempah di pasar, atau CEO sebuah perusahaan rintisan dengan logo mahal. Dalam jeda wawancara singkat yang tak lebih dari potongan video amatir, muncul satu pertanyaan "Apa kata-kata hari ini?"Pertanyaan itu terdengar seperti lelucon yang kehilangan punchline, tetapi ia telah menjadi semacam ritus digital. Sebuah mantra kecil yang dilemparkan ke udara, entah untuk siapa. Dan kita, sebagai penonton—sabar atau bosan—menunggu jawaban yang sering mengecewakan, tetapi tetap memiliki daya tarik. Seperti remah-remah roti di hutan dongeng, ia mengarahkan kita ke tempat yang tak jelas tetapi sulit kita tolak.Pertanyaannya, apa yang sebenarnya kita cari? Kata-kata bijak? Validasi? Atau, sekadar pengalihan dari absurditas keseharian?***Ada sesuatu yang ganjil dalam obsesi kita terhadap kata-kata bijak. Dalam frasa-frasa sederhana—kadang terlalu sederhana untuk disebut bijak—kita berharap menemukan kompas moral atau peta arah dalam hidup. Namun sering, kata-kata itu hanya menjadi ornamen belaka, seperti bunga plastik di sudut ruang tamu. Ia ada untuk mempercantik, tetapi bukan untuk dipetik.Namun, jangan salah sangka dulu. Kata-kata semacam itu tetap memiliki daya magis. Ia seperti cuplikan lagu lama yang kita dengar tanpa sadar, tetapi tiba-tiba mampu membangkitkan emosi tertentu. Pedagang kaki lima yang diwawancarai di tepi jalan, ketika ditanya, "Kata-kata hari ini, Pak?" mungkin akan berkata, "Yang penting jangan menyerah." Sebuah frasa klise, tetapi diucapkan dengan wajah penuh kerut, itu bisa terasa lebih tajam daripada puisi T.S. Eliot sekalipun.Ada pula direktur perusahaan start-up yang menjawab dengan bahasa korporat, "Kuncinya adalah beradaptasi dengan perubahan." Kita mendengarnya, mengangguk pelan, meski dalam hati tahu ia hanya mengulang jargon dari seminar motivasi. Namun, kita memaafkannya. Kita memahami bahwa kata-kata itu lebih tentang dirinya daripada kita. Ia berbicara untuk dirinya sendiri, mungkin untuk meyakinkan bahwa ia tidak akan tenggelam dalam perahu bisnis yang terus berguncang.Kata-kata hari ini adalah cermin. Ia memantulkan kondisi orang yang mengucapkannya, tetapi juga menyentuh sisi terdalam kita yang rapuh. Bukankah kita semua, di tengah kekacauan dunia, hanya mencari secercah harapan? Kata-kata itu tidak harus benar-benar membantu. Cukup membuat kita merasa tidak sendirian.Namun, di sinilah letak persoalannya. Kita hidup pada era informasi yang melimpah. Kata-kata berseliweran di mana-mana, dari media sosial hingga percakapan sehari-hari. Namun, di balik banjir kata-kata ini, sering kita justru kehilangan kemampuan untuk mendengarkan. Apakah kita masih mampu menangkap makna di balik setiap kata yang diucapkan?Mungkin masalahnya bukan pada kata-katanya, tetapi pada kebutuhan kita untuk terus menciptakan momentum instan. Dalam dunia yang diukur dengan algoritma dan jempol yang naik turun, kita haus akan respons cepat. Kata-kata hari ini menjadi seperti lotere kita berharap menemukan mutiara, tetapi sering hanya mendapatkan cangkang.Namun, tetap ada satu hal yang menarik hasrat manusia untuk menambal hidupnya dengan kata-kata. Kita tahu hidup ini penuh celah, tetapi tetap berharap sebaris kalimat mampu mengisi kekosongan. Seperti memungut pecahan kaca dan mencoba merangkainya kembali menjadi cermin utuh.***Tetapi mari kita jujur—siapa yang tidak butuh kata-kata hari ini? Dalam segala banalitas dan pengulangan, ada sesuatu yang menghangatkan di sana. Seperti segelas teh di pagi yang dingin, meski rasanya biasa, ia tetap menguatkan.Di tengah hiruk pikuk ini, kata-kata hari ini adalah semacam oasis kecil, tempat kita berhenti sejenak—bukan untuk refleksi apalagi kontemplasi, tetapi hanya sekadar untuk mengingat bahwa hidup, betapapun rumitnya, tetap harus kita jalani. Tukang becak yang berkata, "Jalani saja, Mas, pelan-pelan," sebenarnya sedang memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada nasihat rumit dari buku self-help. Ia berbicara tentang bertahan hidup. Tentang langkah kecil yang, meskipun tidak sempurna, tetap membuat roda berputar.Mungkin, pada akhirnya, itulah inti dari kata-kata hari ini. Ia bukan tentang kebijaksanaan yang sempurna, tetapi tentang keberlanjutan. Ia bukan tentang menemukan jawaban, tetapi tentang keberanian untuk terus bertanya. Seperti hujan yang jatuh di tanah gersang, kata-kata itu tidak selalu langsung mengubah segalanya. Sebuah pesan kecil yang mengatakan, "Kamu tidak sendiri." Dan untuk hari ini, mungkin itu sudah lebih dari cukup.Adib Abadi kolumnis