LPG

Konsumsi LPG Naik 5,4% Selama Periode Libur Lebaran 2025

Konsumsi LPG Naik 5,4% Selama Periode Libur Lebaran 2025

(7 bulan yang lalu)

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat konsumsi LPG pada periode libur Lebaran meningkat 5,4% dibanding tahun sebelumnya.

Hal ini diketahui berdasarkan data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) selama periode Posko Ramadan-Idulfitri (Rafi) 2025. Adapun periode Rafi 2025 berlangsung semalam 17 Maret hingga 11 April 2025 atau 26 hari.

"Realisasi LPG pada periode posko nasional 2025 ini mengalami peningkatan secara rata-rata sebesar 5,4% dari penyaluran LPG pada periode yang sama di 2024," kata Direktur BBM BPH Migas Sentot Harijady Bradjanto Tri Putro menjelaskan dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (11/4/2025).

Respons Tarif Trump, Bahlil Mulai Berhitung Kebutuhan Impor Minyak  LPG dari AS

Respons Tarif Trump, Bahlil Mulai Berhitung Kebutuhan Impor Minyak LPG dari AS

(7 bulan yang lalu)

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mulai menghitung kebutuhan impor liquefied petroleum gas (LPG) dan minyak dari Amerika Serikat (AS).Hal ini seiring dengan langkah pemerintah untuk meningkatkan impor minyak dan gas bumi (migas) dari Negeri Paman Sam sebagai upaya negosiasi tarif impor timbal balik (reciprocal tariff) sebesar 32% yang diterapkan Presiden AS Donald Trump kepada RI.Pembelian minyak dan LPG pun diharapkan bisa meningkatkan impor dan investasi dari AS ke Indonesia. Dengan begitu, defisit neraca perdagangan AS terhadap Indonesia dapat berkurang sehingga diharapkan kebijakan Trump bisa melunak.Bahlil menjelaskan, impor minyak dan LPG selama ini datang dari Singapura, Timur Tengah, Afrika, hingga Amerika Latin. Demi meningkatkan impor dari AS, pembelian LPG dan minyak dari negara-negara tadi pun bakal dikurangi.Hingga saat ini, Bahlil mengatakan, pemerintah masih menghitung berapa banyak impor LPG dan minyak yang bisa diambil dari AS."Dalam exercise, kami lagi menghitung," ucap Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (9/4/2025).Dia pun memastikan pihaknya juga menghitung tingkat keekonomian impor dari AS. Pasalnya, impor dari AS kemungkinan membutuhkan biaya lebih besar.Menurut Bahlil, hal ini terjadi karena biaya transportasi dari AS lebih tinggi dibandingkan Timur Tengah."Harga LPG dari Amerika sama dengan dari Middle East. Jadi, saya pikir semua ada cara untuk kita menghitung dalam bisnis kan yang penting adalah produk yang diterima di negara kita adalah dengan harga yang kompetitif," tutur Bahlil.Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, Presiden Prabowo Subianto memastikan untuk memilih pendekatan negosiasi dibanding dengan tindakan pembalasan untuk menghadapi kebijakan tarif baru AS.Oleh karena itu, pemerintah akan meningkatkan impor minyak, LPG, dan liquefied natural gas (LNG) dari Negeri Paman Sam."Dengan pembicaraan dengan menteri ESDM, juga kita arahan presiden kita bisa membeli LPG dan LNG dari AS," kata Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi 2025 di Jakarta, Selasa (8/3/2025).Namun, Airlangga menggarisbawahi bahwa peningkatan impor LPG dan LNG dari AS, tak berarti menambah volume impor gas RI  secara keseluruhan. Dia menjelaskan, pemerintah hanya melakukan realokasi impor gas tersebut. Artinya, akan ada pengurangan jumlah impor LPG dan LNG dari negara di luar AS."Ini tidak menambah [impor], tapi realokasi pembelian, jadi tak mengganggu APBN," jelas Airlangga.

Rayu Trump, Prabowo Minta Impor Lebih Banyak LPG  LNG dari AS

Rayu Trump, Prabowo Minta Impor Lebih Banyak LPG LNG dari AS

(7 bulan yang lalu)

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah bakal meningkatkan impor liquefied petroleum gas (LPG) dan liquefied natural gas (LNG) dari Amerika Serikat (AS).

Hal itu sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto sebagai respons penerapan tarif impor timbal balik (reciprocal tariff) sebesar 32% dari Presiden AS Donald Trump kepada RI.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, Presiden Prabowo memastikan untuk memilih pendekatan negosiasi dibanding dengan tindakan pembalasan untuk menghadapi kebijakan tarif terbaru AS.