Pelestarian Hutan

Ironi Kebijakan Pelestarian Hutan

Ironi Kebijakan Pelestarian Hutan

()

Akhir-akhir ini terdapat pernyataan pejabat publik yang cukup kontroversi terkait dengan kelestarian hutan di Indonesia. Pertama, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menganggap bahwa lahan sawit harus diperluas. Perluasan lahan sawit dianggap bukan menjadi bagian deforestasi karena sama-sama pohon dan mampu menyerap karbon. Kedua, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengidentifikasi terdapat lahan hutan cadangan seluas 20 juta hektar untuk lahan pangan dan energi. Pernyataan mereka menjadi cukup ironis karena mereka berada di posisi yang akan menjadi pengambil kebijakan. Kekhawatirannya, pernyataan tersebut menjadi dasar untuk menentukan kebijakan pelestarian hutan. Aspek ekonomi akan lebih difokuskan dibandingkan keberlanjutan lingkungan. Padahal, kawasan hutan di Indonesia mempunyai peran vital di tingkat regional dan dunia. Laju DeforestasiHutan mempunyai fungsi penting bagi alam dan kehidupan manusia. Fungsi yang ada di hutan antara lain penyediaan sumbe rdaya, pencegahan bencana, pengendalian kualitas udara, pendukung keanekaragaman hayati. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan Indonesia mencapai 120,4 juta hektar (ha) pada 2023. Sekitar separuhnya merupakan hutan produksi dengan luas 68,8 juta ha (57,1%), sisanya berstatus hutan lindung 29,5 juta ha (24,5%), dan hutan konservasi 22,1 juta hektar (18,4%). Masalah deforestasi merupakan salah satu isu utama lingkungan hidup di Indonesia. Hutan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan sawit, pertambangan, permukiman dan kegiatan ekonomi lainnya sehingga luasannya semakin berkurang. Data dalam Buku Deforestasi KLHK menunjukkan bahwa deforestasi netto pada 2021-2022 mencapai 104.032,5 hektar. Angka tersebut menurun dibandingkan total deforestasi netto pada 2020-2021 sebesar 120.705,8 hektar. Tingkat deforestasi tertinggi pada 2021-2022 berada di Provinsi Kalimantan Timur dan Utara yaitu 13.758 hektar. Dampak Deforestasi Deforestasi menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat. Pengurangan tutupan hutan dapat menimbulkan menurunnya kemampuan penyerapan air, kemampuan penghasil oksigen dan kemampuan mendukung kehidupan flora dan fauna. Kemampuan penyerapan air yang berkurang berakibat pada keseimbangan neraca sumberdaya air. Kondisi ini dapat mengganggu siklus air, yang mana dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekeringan. Kualitas air juga menurun karena limbah atau pun zat pencemar yang masuk dalam tubuh air sudah beragam. Selain itu, penurunan fungsi penyerap air dapat meningkatkan sedimentasi dan erosi tanah. Bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor menjadi bukti dampak penggundulan hutan. Bencana alam berdampak pada kehidupan manusia berupa korban jiwa, luka dan mengungsi, serta kerugian ekonomi negara. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan kerugian akibat bencana pada 2022 mencapai 1,06 triliun. Kondisi kualitas lingkungan hidup akan berubah seiring dengan penggundulan hutan. Kemampuan untuk penyerapan karbon akan menurun sehingga kualitas udara akan menurun. Alih fungsi hutan penyebab utama pelepasan emisi gas rumah kaca. Berbagai studi akademisi menunjukkan bahwa alih fungsi akan lebih besar menghasilkan pelepasan CO2, CH4, dan N2O yang signifikan dalam tiga dekade pertama. Dalam jangka panjang, mampu menimbulkan perubahan iklim tingkat regional bahkan dunia. Penurunan keanekaragaman hayati juga menjadi dampak akibat deforestasi. Perubahan ekosistem akibat alih fungsi membuat sebagian flora dan fauna tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Konflik satwa dengan manusia menjadi bukti bahwa habitat satwa semakin terdesak akibat alih fungsi lahan. Konflik sosial juga akan muncul karena permasalahan persetujuan masyarakat asli, sengketa lahan dan sebagainya. Salah satu kasus adalah konflik warga asli dan perusahaan sawit di kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, yang berujung pada tewasnya salah satu warga.