Pilkada Langsung

Menghapus Pilkada Langsung, Kembali ke Sistem Bukan-Bukan

Menghapus Pilkada Langsung, Kembali ke Sistem Bukan-Bukan

()

Beberapa waktu ini, muncul wacana dari Presiden Prabowo untuk menghapus pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Kepala daerah diwacanakan untuk dipilih secara tidak langsung oleh DPRD setempat. Sebelumnya, wacana ini hampir terealisasi pada 2014, tetapi dibatalkan oleh Presiden SBY melalui Perppu.

Sejatinya, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD selaku lembaga legislatif mirip dengan pemilihan presiden pada era Presiden Soeharto. Saat itu, MPR berwenang memilih presiden selaku pimpinan lembaga eksekutif. "Sistem MPR" bukan sistem parlementer dimana kepala pemerintahan bisa meminta kepala negara untuk membubarkan parlemen, atau sebaliknya parlemen bisa menjatuhkan kepala pemerintahan dengan mosi tidak percaya. Sistem MPR juga bukan sistem presidensial, di mana presiden dan parlemen sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, sehingga baik presiden dan parlemen sama-sama tidak bisa saling menjatuhkan. Dalam konteks sistem politik dan demokrasi yang benar, bentuk pemerintahan selaku lembaga eksekutif harus sesuai, baik di tingkat pemerintah pusat dan daerah. Seperti di Indonesia sekarang, presiden selaku lembaga eksekutif tertinggi dipilih langsung oleh rakyat, sama halnya dengan gubernur dan bupati atau wali kota di daerah. Di negara dengan sistem presidensial seperti Amerika Serikat, baik presiden dan gubernur selaku pemimpin tertinggi pemerintah daerah (state) sama-sama dipilih oleh rakyat. Sebagai perbandingan, di negeri jiran Malaysia yang bersistem parlementer, baik pemerintah pusat (federal) dan daerah (negeri), pimpinan eksekutif (perdana menteri dan menteri besar) dipilih dan bisa dijatuhkan oleh parlemen

Pilkada Langsung dan Demokrasi Jual Beli

Pilkada Langsung dan Demokrasi Jual Beli

()

Presiden Prabowo Subianto mengamini usulan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia agar kepala daerah kembali dipilih lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dia mengakui sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang mulai dipraktikkan sejak 2005 menelan biaya sangat mahal. "Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah," kata Prabowo 12 Desember lalu.

Selain berbiaya tinggi, menghabiskan lebih dari Rp 100 triliun APBD di berbagai daerah, figur-figur yang dihasilkan umumnya bukan para kader terbaik melainkan sekadar mereka yang punya uang dan popular lewat praktik pencitraan.

Pilkada Langsung Vs Perwakilan: Demokrasi atau Efisiensi?

Pilkada Langsung Vs Perwakilan: Demokrasi atau Efisiensi?

()

PILKADA langsung kembali menjadi perdebatan hangat sejak Presiden Prabowo Subianto mengusulkan kembali ke sistem perwakilan.

Pilkada langsung pertama kali digelar pada 2005. Dasar Pilkada langsung, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Wacana kembali pada sistem perwakilan dalam pemilihan kepala daerah menuai ragam perspektif, merepresentasikan dinamika dan kegelisahan publik.

Tentu ada yang mendukung usulan ini. Tidak sedikit pula yang mengkritiknya karena dianggap langkah mundur dari prinsip demokrasi partisipatoris.

Sepakat dengan Prabowo, Cak Imin Dukung Sistem Pilkada Langsung Dievaluasi

Sepakat dengan Prabowo, Cak Imin Dukung Sistem Pilkada Langsung Dievaluasi

()

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sepakat mengevaluasi sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia.

Ia mengaku sepaham dengan Presiden Prabowo Subianto bahwa pemilihan langsung di tingkat pilkada menghabiskan terlalu banyak biaya.

“Ide untuk mengevaluasi pemilihan langsung di level pilkada itu saya kira, saya mendukung, PKB juga mendukung. Soal mekanismenya, apakah langsung DPRD, apakah semua DPRD, mari kita diskusikan bersama,” ujar Muhaimin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (13/12/2024) malam.

Partisipasi Rendah, Pilkada Langsung Harus Diubah?

Partisipasi Rendah, Pilkada Langsung Harus Diubah?

()

PARTISIPASI pemilih yang relatif rendah dalam Pilkada serentak 2024, menjadi sorotan banyak pihak. Saling lempar kesalahan mewarnai fenomena tersebut.

Sejumlah partai politik menunjuk KPU tidak profesional, sedangkan sejumlah pengamat menunjuk partai politik kurang bertanggung jawab untuk “mendidik” konstituennya.

Di tengah keriuhan saling lempar siapa yang harus bertanggung, mencuat pandangan bahwa partisipasi pemilih yang rendah pada Pilkada kali ini merupakan “argumen faktual” untuk mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah ke elite legislatif.