Sosok

Oey Tjin Eng, Kamus Berjalan Kelenteng Boen Tek Bio

Oey Tjin Eng, Kamus Berjalan Kelenteng Boen Tek Bio

()

Oey Tjin Eng menyusuri buku-buku di ruangan bernuansa putih, terlihat jejeran buku-buku sejarah, memoar, buku agama, hingga arsip album foto lawas.

Mata pria 80 tahun itu kemudian tertuju pada sebuah buku tebal. Ia pun membawakan buku itu ke atas meja, sampulnya tertulis nama seorang mahasiswa jenjang S3 lengkap dengan nama kampus tempatnya belajar.

"Waktu itu, saya jadi narasumber buat mahasiswa S3. Ini, nama saya ditulis di halaman terima kasih," ucap Oey, sembari menunjuk namanya di halaman yang dimaksud.

Pelestari Budaya China Benteng, Oey Tjin Eng

Pelestari Budaya China Benteng, Oey Tjin Eng

()

Akhir-akhir ini tak banyak yang dilakukan Oey Tjin Eng. Ia menikmati waktu luang di rumah, lalu menjemput cucu dari sekolah. Barulah ketika ada permintaan wawancara, Oey akan berangkat ke Kelenteng Boen Tek Bio, tempatnya mengabdi hingga saat ini.

Usia Oey telah menginjak 80 tahun, langkahnya pelan dan suaranya serak. Namun ingatannya masih tajam, begitu pula dengan lisannya yang dengan lancar menjelaskan seluk-beluk China Benteng.

"Sekarang sudah satu hal yang (salah) kaprah. Seluruh Tangerang Raya yang merasa dirinya Tionghoa, disebut China Benteng. Padahal dari Benteng Makassar sampai Babakan Ujung aja, itu China Benteng. Jadi karena ini udah merata begitu, mau bilang apa?" tuturnya di program Sosok detikcom (4/11/2024).

Pelestari Budaya Cina Benteng, Oey Tjin Eng

Pelestari Budaya Cina Benteng, Oey Tjin Eng

()

Akhir-akhir ini tak banyak yang dilakukan Oey Tjin Eng. Ia menikmati waktu luang di rumah, lalu menjemput cucu dari sekolah. Barulah ketika ada permintaan wawancara, Oey akan berangkat ke kelenteng Boen Tek Bio, tempatnya mengabdi hingga saat ini.

Usia Oey telah menginjak 80 tahun, langkahnya pelan dan suaranya serak. Namun ingatannya masih tajam, begitu pula dengan lisannya yang dengan lancar menjelaskan seluk-beluk Cina Benteng.

"Sekarang udah satu hal yang (salah) kaprah. Seluruh Tangerang Raya yang merasa dirinya Tionghoa, disebut Cina Benteng. Padahal dari Benteng Makassar sampai Babakan Ujung aja, itu Cina Benteng. Jadi karena ini udah merata begitu, mau bilang apa?" tuturnya di program Sosok detikcom (4/11/2024).

Agustinus Wibowo, Menjelajahi Pikiran Lewat Tulisan

Agustinus Wibowo, Menjelajahi Pikiran Lewat Tulisan

()

Maret tahun ini Agustinus Wibowo penulis dan fotografer perjalanan, merilis buku berjudul Kita dan Mereka. Buku dengan 667 halaman ini merupakan karya terbarunya sejak 2021. Sebelumnya, Agustinus sukses menerbitkan empat buku populer lainnya, yaitu Selimut Debu, Garis Batas, Titik Nol, serta Jalan Panjang untuk Pulang.

Kelima buku Agustinus punya nuansa serupa, yakni catatan perjalanan seorang petualang yang sarat akan perenungan hidup. Tempat-tempat yang dikunjunginya pun tak main-main. Agustinus terkenal gemar menjamah negara di daerah perbatasan yang sarat akan konflik.

Agustinus Wibowo, Perjalanan Mencari Identitas Hingga Garis Batas

Agustinus Wibowo, Perjalanan Mencari Identitas Hingga Garis Batas

()

Sepanjang 14 tahun, Agustinus Wibowo telah merilis lima buku; Selimut Debu, Garis Batas, Titik Nol, Jalan Panjang untuk Pulang, serta Kita dan Mereka. Penulis sekaligus fotografer perjalanan ini, kerap mendokumentasikan perjalanannya yang ’tak lazim’ melalui rute panjang di negara-negara tak terjamah. Tak hanya bercerita tentang keindahan lanskap, buku-buku Agustinus juga sarat perenungan, terutama tentang kontemplasi identitas.

Bukan tanpa sebab, sejak kecil Agustinus memang selalu mempertanyakan siapa dirinya. Sebagai keturunan Tionghoa yang tumbuh di masa Orde Baru, ia menjalani hidup di antara identitas yang sering kali saling berbenturan.