Antara Proyek Riviera Trump dan Evakuasi Korban Luka Gaza ke Indonesia

Antara Proyek Riviera Trump dan Evakuasi Korban Luka Gaza ke Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com - Isu relokasi warga Gaza ke Indonesia pertama kali mencuat lewat pemberitaan media asing pada Januari 2025. Dalam laporan itu, mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump disebut sebagai pihak yang mengusulkan ide tersebut.

Trump disebut akan memindahkan 2 juta warga Gaza untuk sementara selama proses pembangunan kembali wilayah tersebut setelah dilanda perang berkepanjangan.

Indonesia disebut menjadi salah satu tempat alternatif untuk menempatkan 2 juta warga Gaza.

"Bagaimana membangun kembali Gaza masih menjadi tanda tanya, termasuk ke mana sekitar 2 juta penduduk Palestina bisa direlokasi untuk sementara. Indonesia, misalnya, termasuk salah satu lokasi yang dipertimbangkan untuk mengirim sebagian penduduk," kata pejabat transisi anonim dari Amerika Serikat dalam sebuah wawancara dengan media asing.

Isu tersebut kemudian semakin menguat pada Maret 2025. Media milik Israel jns.org menyebut secara gamblang, ada 100 orang pekerja dari Palestina yang akan dikirim ke Indonesia sebagai bentuk pilot project relokasi.

Jika 100 orang tersebut berhasil dalam pekerjaan konstruksi, maka tahap berikutnya akan ada pengiriman ribuan warga Gaza ke Indonesia. 

"Sementara hukum internasional mengizinkan mereka meninggalkan Gaza untuk bekerja dan kembali. Tujuan lebih luas adalah untuk memfasilitasi migrasi jangka panjang, bergantung pada kerja sama Indonesia," tulis artikel tersebut.

Meski demikian, kedua isu ini dibantah oleh Kementerian Luar Negeri RI.

Juru Bicara Kemenlu RI, Rolliansyah Soemirat, menyebut pemerintah Indonesia tidak pernah membahas apalagi menyepakati isu tersebut.

"Pemerintah Indonesia tidak pernah membahas dengan pihak mana pun ataupun mendengar informasi tentang rencana pemindahan warga Gaza ke Indonesia yang disebut oleh beberapa media asing," ujar pria yang akrab disapa Roy tersebut melalui keterangan pers, Kamis (27/3/2025).

Rencana relokasi warga Gaza semakin terang setelah Donald Trump merencanakan pembangunan proyek Riviera atau "Riviera Project" di kawasan tersebut.

Trump berencana mengubah Jalur Gaza, yang hancur akibat perang Hamas-Israel, menjadi kawasan wisata seperti Riviera di Italia.

Riviera merujuk pada salah satu destinasi wisata pesisir ikonik di Italia, terkenal dengan pantai yang eksotis, tebing, dan kekayaan sejarah serta kuliner yang khas.

Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Washington pada Selasa (4/2/2025), Trump menyebut Gaza sebagai "zona kehancuran" (demolition site) yang perlu dibangun kembali dari nol.

Trump menggambarkan Gaza sebagai lokasi yang sudah lama menjadi “simbol kematian dan kehancuran” dan mengatakan warga Palestina di sana harus ditempatkan di “berbagai lokasi" di negara lain.

“Saya tidak tahu bagaimana mereka (warga Palestina) ingin tetap tinggal di sana,” kata Trump.

Trump mengungkapkan bahwa AS akan mengambil alih Jalur Gaza. Kemudian, AS berencana mengembangkan ekonomi Gaza. 

“AS akan mengambil alih Jalur Gaza, membersihkannya dari senjata berbahaya, mengembangkan ekonomi di sana, menciptakan ribuan lapangan kerja, dan menjadikannya sesuatu yang bisa dibanggakan oleh seluruh Timur Tengah,” kata Trump.

Ketika ditanya siapa yang akan tinggal di sana setelah Gaza dibangun kembali, Trump menyebut bahwa wilayah tersebut bisa menjadi rumah bagi “orang-orang dari seluruh dunia”.

Dia meramalkan, Gaza akan menjadi “Riviera di Timur Tengah”.

Kemenlu RI bersama komunitas relawan untuk Palestina sebenarnya sudah merencanakan bantuan kemanusiaan agar para korban perang bisa dirawat tidak jauh dari tanah air mereka.

Bersama Aqsa Working Group (AWG), Kemenlu RI dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berencana membangun "Kampung Indonesia" yang tidak hanya berisi fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, tapi juga pemukiman hingga sekolah.

Rencana tahap awal pembangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) senilai Rp 402 miliar di Gaza City dengan luas lahan 5.000 meter persegi pernah dipresentasikan di Kantor Kemenlu RI, pada 14 Maret 2025.

Namun, pada 9 April 2025, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah untuk mengevakuasi warga Gaza korban perang yang membutuhkan perawatan medis ke Indonesia.

Langkah ini tentu dengan beragam pertimbangan, seperti harus disetujui oleh semua pihak termasuk Palestina. Selain itu, evakuasi bersifat sementara, bukan relokasi.

"Kami juga siap menerima korban-korban yang luka-luka, dan nanti segera kirim Menlu untuk diskusi dengan pemerintah Palestina, dengan pihak daerah tersebut bagaimana pelaksanaannya untuk kami siap evakuasi mereka yang luka-luka," kata Prabowo di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (9/4/2025).

Hal ini kembali ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri RI, Sugiono. Dia memastikan evakuasi yang dilakukan bersifat sementara dan bukan bagian dari relokasi yang diinginkan Trump dan antek-anteknya.

"Saya menegaskan sekali lagi bahwa Indonesia menolak setiap upaya yang akan merelokasi atau memindahkan warga Palestina dari Tanah Airnya. Setiap upaya yang mengubah demografi Gaza merupakan pelanggaran hukum internasional," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (10/4/2025).

Dia juga menegaskan, upaya evakuasi warga Gaza yang terluka bukanlah relokasi, karena dilakukan untuk sementara waktu saja.

Evakuasi itu pun, kata Sugiono, harus disetujui oleh semua pihak dan dikategorikan sebagai korban perang, warga sipil, dan anak-anak.

"Sesuai arahan Presiden, keberadaan mereka di Indonesia bersifat sementara dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk ‘memindahkan’ warga Palestina tersebut dari Tanah Airnya," imbuh Sugiono.

Dilansir dari Kompas.id, Pengamat Timur Tengah dan penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Smith Al Hadar mengingatkan sejarah masa lalu para pengungsi Palestina yang mungkin bisa terulang jika Indonesia melakukan evakuasi.

Dia mengatakan, jutaan warga Palestina keluar dari tanah kelahiran mereka pada peristiwa Nakba 1948.

Hingga saat ini, mereka tidak bisa kembali menempati rumah dan mengelola kebun mereka.

Memindahkan warga Gaza ke Indonesia yang jaraknya 9.050 kilometer dan harus menyeberangi lautan bukan solusi sementara.

Jika evakuasi bersifat sementara, Smith menilai Mesir adalah jawaban yang paling realistis.

"Mesir pun tidak percaya kalau relokasi ini hanya bersifat sementara. Kita punya pengalaman dengan Nakba," katanya.

Smith mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati dengan kebijakan evakuasi itu.

Bisa jadi masyarakat akan menilai bahwa kebijakan tersebut akan mendukung agenda Israel dan Amerika Serikat yang tengah melakukan pembersihan etnis dan genosida terhadap rakyat Palestina.

Sumber