Bertahan Tanpa Tiket, Soleh Cari Cara agar Layar Tancap Tetap Hidup

Bertahan Tanpa Tiket, Soleh Cari Cara agar Layar Tancap Tetap Hidup

JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah dua tahun menjalankan pemutaran film layar tancap tanpa jadwal yang jelas, Soleh (53) berambisi untuk meningkatkan kegiatan tersebut ke tahap yang lebih serius.

Namun, ia masih merasa bingung tentang langkah apa yang harus diambil terlebih dahulu.

“Saya ingin seperti itu. Cuma, ya kayaknya, gimana ya? Sekarang itu karena belum tentu juga, ya,” ungkap Soleh saat dijumpai di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu (9/4/2025).

Selama ini, Soleh bersama anggota komunitasnya di Operator Film (Operfi) memutar film layar tancap tanpa memungut biaya dari audiens yang hadir.

Semua biaya operasional, termasuk penyewaan gulungan film, sepenuhnya ditanggung oleh pelaksana.

Keinginan untuk mendatangkan sponsor demi mengurangi beban biaya operasional pun menjadi harapan Soleh ke depan.

“Pengen juga datangi sponsor. Kalau emang itu, biar ada pemasukan juga, ya. Tapi belum tergambar saja gimananya,” kata Soleh.

Saat ini, pendapatan dari kegiatan pemutaran layar tancap diperoleh melalui penawaran jasa layar tancap di acara-acara khusus.

Biasanya, tarif untuk sekali pemutaran film berkisar antara Rp 800.000 hingga Rp 1.000.000, tergantung pada permintaan film oleh pelanggan dan jarak tempuh.

“Tergantung filmnya juga. Sewaannya dia maunya film apa. Kami mematok (tarif)  tetap, karena kami juga kan nyewa rol filmnya,” jelas Soleh.

Meski terkadang ada pelanggan yang membayar kurang dari tarif yang dipasang, ada pula yang memberikan makanan atau minuman sebagai bentuk apresiasi selama pemutaran film.

Selain dari penyewaan, Soleh juga mendapatkan pendapatan lain dari penyelenggaraan hiburan dangdut di Waduk Lebak Bulus, yang terletak tepat di seberang rumahnya.

Soleh mengakui bahwa lebih banyak masyarakat yang berminat terhadap hiburan ini, dan prosesnya tidak serumit pemutaran film.

Menurut dia, penyelenggaraan dangdut tidak terlalu rumit karena hanya melibatkan dua biduan, organ yang dipinjam dari temannya, serta beberapa alat yang ia sediakan sendiri.

"Sama adek juga ada dua lagi. Alat lainnya paling pake buat kontrol. Kontrol depan, kontrol belakang di panggungnya, sudah,” katanya.

Dari panggung dangdut tersebut, Soleh biasanya mendapatkan penghasilan yang lebih besar.

Namun, acara dengan suara musik yang cukup kencang di malam hari tak terhindar dari protes masyarakat setempat.

Suara musik dangdut dianggap terlalu kencang dan mengganggu kenyamanan warga, terutama anak-anak dan lansia.

Sebelumnya, pemutaran film layar tancap juga pernah menghasilkan suara yang cukup mengganggu, terutama akibat penggunaan alat pengeras suara.

Namun, saat ini Soleh menghindari penggunaan alat tersebut.

"Ada sih yang pake toa, tapi toanya juga yang kecil. Suaranya enggak kenceng kayak dulu. Masih amanlah suaranya,” tutup Soleh dengan penuh harapan.

Sumber