Jalan Trans Sulawesi Hampir Sebulan Terputus Akibat Banjir, Pengendara Bayar Sewa Rakit Rp 500.000

Jalan Trans Sulawesi Hampir Sebulan Terputus Akibat Banjir,  Pengendara Bayar Sewa Rakit Rp 500.000

KENDARI, KOMPAS.com – Ruas jalan trans Sulawesi yang menghubungkan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan Sulawesi Tengah (Sulteng) masih terputus akibat banjir yang melanda Desa Sambandete, Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara, sejak pertengahan Maret 2025.

Hampir sebulan, air terus menggenangi ruas jalan sepanjang 500 meter, dengan ketinggian mencapai 2 meter.

Kondisi tersebut memaksa pengguna jalan untuk menggunakan rakit milik warga demi menyeberang, dengan biaya yang cukup tinggi.

Beberapa insiden dilaporkan terjadi, termasuk kendaraan yang jatuh dari rakit saat melintasi genangan.

Rian, warga Kota Kendari yang bekerja di perusahaan tambang di Kabupaten Morowali, mengaku harus membayar hingga Rp500.000 untuk menyeberangkan mobilnya agar bisa mudik Lebaran ke kampung halaman.

“Saya harus mudik Lebaran di kampung dengan keluarga, apa boleh buat daripada tidak kumpul dengan keluarga. Karena tidak ada jalan lain, mau naik pesawat lebih mahal lagi,” kata Rian, Rabu (9/4/2025).

Ermawati, warga Kecamatan Wiwirano, juga harus merogoh kocek Rp100.000 untuk menyebrangkan sepeda motornya.

“Pernah naikkan dua motor di pincara (rakit). Satu motorku dan satu lagi motor anakku. Kami berboncengan satu keluarga toh. Mahal, tapi mau diapa,” ujarnya.

Menanggapi kondisi tersebut, Wakil Ketua Komisi V DPR RI Ridwan Bae meninjau langsung lokasi jalan putus. Ia mengatakan kunjungan ini dilakukan untuk memastikan percepatan pembangunan infrastruktur vital yang terdampak banjir.

Ridwan menyebut pemerintah berencana membangun jalan layang dan jembatan Bailey sebagai solusi.

“Kita tetap upayakan agar proyek ini bisa diprioritaskan tahun ini,” tegasnya.

Ia juga akan melobi Kementerian PUPR, selaku mitra Komisi V DPR RI, agar proyek ini masuk dalam prioritas pembangunan nasional. Ridwan mengingatkan pentingnya penanganan hulu, seperti penghijauan, agar banjir tidak terus berulang.

“Biar kita sudah bikin jembatan lagi, kemudian kita keruk untuk memperdalam airnya, tapi kalau hulunya tidak teratasi dengan baik, hutan akan gundul terus menerus. Pasti tidak akan pernah berhenti persoalannya,” katanya.

Ia berharap Pemkab Konawe Utara dan Pemprov Sultra bersatu mendesak percepatan pembangunan jembatan layang agar mobilitas masyarakat kembali normal.

“Kalau 2025 tidak bisa, maka di tahun 2026. Harus ada kolaborasi antara Pemkab dan Pemprov yang diharapkan bisa mempercepat prosesnya,” tambah Ridwan.

Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Sultra, Yudi Hardiana, mengungkapkan bahwa desain jalan layang sepanjang 745 meter telah disiapkan, dengan estimasi anggaran mencapai Rp60 miliar. Proyek ini akan dilaksanakan melalui tiga tahapan skema.

Yudi juga menyampaikan bahwa pembangunan jembatan di lokasi tersebut pernah dimulai pada 2021, namun terhenti karena pemutusan kontrak dengan pihak pelaksana proyek.

Sebagai solusi jangka pendek, BPJN menyiapkan unit jembatan Bailey yang dapat dirakit cepat untuk mengatasi darurat banjir.

Sementara itu, Bupati Konawe Utara, Ikbar, menjelaskan bahwa banjir disebabkan oleh meluapnya Sungai Lalindu dan Sungai Landawe, yang menutup akses jalan nasional. Ia menyebut banjir di wilayah tersebut terjadi hampir setiap lima tahun, sehingga status siaga telah ditetapkan.

Namun demikian, upaya Pemkab untuk melakukan intervensi sungai terkendala regulasi.

“Sebenarnya kami ingin melakukan intervensi terhadap sungai ini, tapi terbentur UU Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pemekaran Konawe Utara yang telah dibatalkan melalui Permendagri Nomor 45 Tahun 2010,” jelasnya.

Ikbar mengusulkan pembangunan kolam retensi di Kecamatan Oheo sebagai solusi jangka panjang pengendalian banjir. Ia juga menyinggung tarif rakit yang sempat diatur oleh pemerintah daerah sebesar Rp300.000 untuk mobil dan Rp50.000 untuk motor, namun direvisi setelah ditolak warga.

 

Sumber