Kisah Solihin dan Perjuangannya Menjauhkan Anak dari Jakarta demi Masa Depan

JAKARTA, KOMPAS.com – Di tengah hiruk-pikuk Stasiun Pasar Senen, di antara para pemudik yang lalu lalang membawa rindu dan harapan, seorang pria paruh baya duduk tenang dengan mata yang menyimpan cerita panjang tentang pengorbanan.
Pria itu bernama Solihin. Selama tiga dekade terakhir, pria berusia 51 tahun ini mengabdikan diri sebagai buruh pabrik di kawasan Ancol, Jakarta Utara.
Namun, di balik kerja kerasnya sebagai tulang punggung keluarga, ada satu keputusan yang tak pernah diubah tidak membawa keluarganya menetap di Jakarta.
“Dari awal saya mau berumah tangga, saya enggak pernah ada niat bawa keluarga ke sini,” kata Solihin saat ditemui, Senin (7/4/2025).
Jakarta, bagi Solihin, bukan tempat yang layak untuk anak-anak tumbuh mengenal dunia.
Kota ini terlalu keras, penuh dengan pergaulan bebas, yang menurutnya bisa merampas nilai-nilai yang ia perjuangkan sebagai orang tua.
“Lebih untuk perkembangan anak. Tahu sendiri lah di sini kayak apa pergaulannya. Itu yang jadi pertimbangan saya. Untuk perkembangan anak itu kayaknya enggak bagus di daerah kota,” ujar Solihin.
Bukan hanya soal pergaulan. Persaingan hidup di Jakarta yang tak kenal ampun juga membuat Solihin berpikir panjang.
Ia ingin anak-anaknya belajar adab dan sopan santun dari alam dan masyarakat kampung, bukan dari gemerlap kota yang sering kali menipu.
“Iya, soal persaingan juga yang ketat. Tapi saya lebih pertimbangkan perkembangan anak itu tadi sih. Untuk misalnya adab, sopan santun kayak gitu,” lanjut Solihin.
Ada satu alasan lagi yang menguatkan pendiriannya, yakni pendidikan agama.
Di kampung halamannya di Pemalang, Jawa Tengah, Solihin percaya anak-anaknya masih bisa mengenal Tuhan dari surau-surau kecil, dari lantunan ayat di madrasah.
“Udah gitu dari segi pendidikan agama, sini kan nyarinya juga susah. Kalau di kampung masih-masih ada madrasah, ada surau-surau ngaji kayak gitu kan,” katanya.
Untuk melepas rindu, Solihin rutin pulang ke rumah sebulan sekali menggunakan bus.
Namun, khusus untuk momen spesial seperti Lebaran, ia memilih kereta karena lebih nyaman, lebih cepat, dan bisa menghindari kemacetan.
“Biasanya pakai bus PO. Tapi kalau momen Lebaran gini, inginnya pakai kereta. Biar lebih nyaman. Dan ya tahu sendiri lah, macet,” ucap Solihin.
Sementara itu, Jakarta masih bersiap menerima arus pendatang pasca-Lebaran 2025.
Gubernur Jakarta, Pramono Anung, menyatakan fenomena ini tak bisa dicegah. Namun, setiap orang yang datang ke Jakarta harus memiliki kemampuan dan kesiapan untuk bersaing.
“Bagi siapa pun mau datang ke Jakarta, monggo, monggo saja. Tapi sekali lagi, kami tentunya sebagai Pemerintah Jakarta mengharapkan orang yang datang ke Jakarta bisa capable untuk bekerja dengan baik,” ujar Pramono.
Namun, Jakarta bukan untuk semua orang—termasuk keluarga Solihin. Baginya, kampung halaman adalah tempat terbaik untuk menanam nilai-nilai kehidupan.
Meski jarak membentang, cinta dan pengorbanan seorang ayah selalu menemukan jalannya pulang.
(Reporter Hanifah Salsabila | Editor Faieq Hidayat)