Kursi Menteri, Meja Bisnis

Kursi Menteri, Meja Bisnis

TIDAK mudah menjadi pejabat publik. Apalagi di negeri yang saban hari menuntut transparansi, menjerit soal etika, dan berseru atas nama demokrasi.

Entah bagaimana, dalam hiruk-pikuk kemiskinan, ketimpangan, dan krisis kepercayaan pada elite, masih saja ada pejabat yang merasa nyaman menduduki dua kursi satu untuk negara, satu untuk bisnis.

Inilah wajah baru kekuasaan pasca-Pemilu 2024 seorang menteri yang juga CEO lembaga pengelola investasi negara, seorang wakil menteri yang juga chief operating officer, dan seorang menteri keuangan yang duduk di kursi dewan pengawas.

Semua itu bukan fiksi. Semuanya nyata. Semuanya terang benderang.

Kabinet Prabowo Subianto belum lama dibentuk, tapi publik sudah disuguhi tontonan lama dalam panggung yang baru rangkap jabatan dan konflik kepentingan.

Rosan Roeslani, Menteri Investasi dan Hilirisasi, juga menjabat sebagai Kepala Badan Pelaksana Danantara—lembaga pengelola investasi yang dibentuk dengan ambisi menyaingi Temasek milik Singapura.

Tidak hanya Rosan. Menteri BUMN Erick Thohir menduduki kursi Ketua Dewan Pengawas Danantara.

Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan yang dikenal disiplin, masuk dalam struktur pengawas. Dony Oskaria, Wakil Menteri BUMN, menjadi COO Danantara.

Struktur ini tak hanya mencolok. Ia menampar logika publik. Danantara, lembaga yang dibiayai oleh uang rakyat, dikelola oleh pejabat publik yang mestinya menghindari potensi konflik kepentingan.

Bagaimana mungkin lembaga yang seharusnya menjadi representasi profesionalisme dan akuntabilitas, justru dikepung nama-nama politik yang tengah menjabat?

Ada semacam kenekatan dalam pengangkatan ini. Mungkin karena merasa punya legitimasi politik pasca-kemenangan Pilpres 2024, atau karena merasa publik mudah lupa, sehingga etika bisa dinegosiasikan.

Namun, publik tidak bodoh. Demokrasi tidak bisa digadaikan hanya karena kekuasaan baru berusia beberapa bulan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara secara jelas menyebutkan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta jabatan lain yang dibiayai oleh APBN. Pasal ini tidak multitafsir. Ia terang. Ia mengikat.

Dalam kasus Danantara, jelas bahwa lembaga ini adalah entitas yang menggunakan dana publik dan berada dalam ruang intervensi kebijakan negara.

Maka, ketika para menteri dan wakil menteri ikut menjadi pengelola dan pengawas, tidak hanya terjadi tumpang tindih kepentingan, tetapi juga pelanggaran prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Rosan berdalih, di negara seperti Uni Emirat Arab, praktik semacam ini lazim. Menteri investasi juga menjadi kepala lembaga pengelola investasi. 

Indonesia bukan UEA. Kita bukan monarki absolut yang mengandalkan legitimasi keturunan. Kita adalah republik yang berdiri di atas prinsip demokrasi, checks and balances, serta supremasi hukum.

Pembenaran semacam ini justru menyingkap cara pandang kekuasaan hari ini mengagumi efisiensi, tetapi abai terhadap akuntabilitas. Mengelola negara seperti korporasi, tapi melupakan bahwa rakyat bukan pemegang saham, melainkan pemilik kedaulatan.

Rangkap jabatan bukan hanya soal administratif. Ia adalah cermin dari bagaimana kekuasaan melihat dirinya sendiri sebagai alat untuk memperluas pengaruh, atau sebagai amanah yang mesti dijalankan dengan kehati-hatian.

Di era Joko Widodo, kita sudah menyaksikan praktik serupa kepala staf khusus yang juga menjadi komisaris, atau pejabat publik yang duduk di kursi direksi. Argumen yang dipakai waktu itu selalu sama profesionalisme, sinergi, efisiensi.

Namun, hari ini kita bisa melihat akibatnya tumpulnya pengawasan, kacaunya pengelolaan, konflik kepentingan, dan makin kaburnya garis antara kebijakan publik dan keuntungan privat.

Kini, praktik itu tampaknya diwariskan, bahkan direplikasi dengan lebih berani. Seolah tak cukup hanya memimpin kementerian, pejabat hari ini juga ingin memimpin dana triliunan rupiah, mengelola investasi, membagi proyek, dan menentukan arah korporasi negara.

Kita tidak anti-investasi. Tidak anti-pembangunan. Kita tidak sedang mencurigai semua niat baik. Namun, ketika lembaga sebesar Danantara dikelola oleh orang-orang yang juga pemegang kendali atas kebijakan fiskal, investasi, dan BUMN, maka alarm kewaspadaan harus dibunyikan.

Ini soal kepatuhan terhadap hukum. Ini soal integritas. Ini soal kepantasan.

Bagaimana mungkin seorang menteri yang memutuskan insentif fiskal untuk investor, juga menjadi pemimpin lembaga yang menerima manfaat dari kebijakan itu?

Bagaimana mungkin seseorang yang mengatur keuangan negara, juga menjadi pengawas lembaga yang mengelola dana investasi negara?

Di sinilah demokrasi diuji apakah kita masih punya keberanian untuk berkata "tidak" kepada kekuasaan yang melampaui batas?

Presiden Prabowo punya kesempatan besar untuk memperbaiki situasi ini. Ia bisa memerintahkan menterinya untuk memilih melayani negara atau mengurus bisnis negara.

Ia bisa menunjukkan kepada publik bahwa pemerintahan ini tidak alergi terhadap kritik, dan tidak silau oleh kekuasaan.

Atau sebaliknya, ia bisa membiarkan ini berlalu, menjadikan rangkap jabatan sebagai normal baru, dan menutup satu lagi pintu integritas dalam pemerintahan.

Pilihan itu kini ada di tangan presiden. Sejarah akan mencatat apakah Prabowo adalah presiden yang mengembalikan etika publik ke Istana, atau presiden yang membiarkan negara dikelola seperti perusahaan keluarga.

Di ruang-ruang seminar, kita selalu diajarkan soal transparansi. Di forum internasional, pejabat kita berbicara lantang tentang good governance. Di tengah krisis kepercayaan pada elite, rakyat berharap bahwa pemerintahan baru bisa membawa perubahan.

Namun, bagaimana mungkin kepercayaan itu tumbuh, jika jabatan publik bisa dirangkap sesuka hati, seolah negara ini tidak punya aturan main?

Di tengah situasi ekonomi yang menantang, di tengah kebutuhan untuk membangun ulang kepercayaan publik, justru yang terjadi adalah pembagian kekuasaan ke dalam struktur bisnis.

Seolah jabatan adalah tiket dan kekuasaan adalah undangan untuk duduk di lebih banyak kursi.

Kursi menteri bukanlah meja bisnis. Ia adalah tempat di mana kebijakan harus dilahirkan demi kepentingan rakyat, bukan korporasi.

Rakyat tidak menuntut yang muluk-muluk. Mereka hanya ingin pejabat publik bekerja sepenuh hati, tidak serakah, tidak gila kuasa. Mereka hanya ingin pemimpin yang bisa berkata "cukup" ketika kekuasaan mulai menggoda.

Jika hari ini kita membiarkan praktik rangkap jabatan merajalela, jika kita diam melihat hukum dilangkahi, jika kita tak berani menegur pejabat yang menumpuk kekuasaan, maka jangan salahkan rakyat bila suatu hari nanti mereka berkata “Kami tak percaya lagi.”

Karena demokrasi, pada akhirnya, bukan soal siapa yang menang pemilu, tapi soal siapa yang berani menjaga etika, ketika kekuasaan sudah dalam genggaman.

Sumber