Membaca Kendala Melawan Pelecehan di KRL

Membaca Kendala Melawan Pelecehan di KRL

DI TRANSPORTASI umum, Commuter Line yang dikelola oleh KAI Commuter patut diakui paling gencar mengampanyekan lawan pelecehan di dalam kereta. Mereka juga cukup responsif setiap kali menemukan kasus tersebut.

Satu langkah penting yang terlihat terus dijaga KAI Commuter sebagai pengelola moda transportasi ini adalah memberikan penguatan sekaligus pendampingan terhadap korban, termasuk melaporkannya kepada kepolisian.

Setidaknya dari sini mereka sudah melakukan satu hal penting berpihak kepada korban.

Hal itu juga dibuktikan lagi dengan langkah yang diambil anak perusahaan KAI itu dengan melakukan tracking melalui CCTV Analytic.

Setiap kejadian pelecehan, mereka mudah menemukan pelaku lengkap dengan waktu kejadian hingga data pelaku untuk nantinya diberikan sanksi sesuai kewenangan yang mereka punya, blacklist pelaku.

Tak terkecuali kasus terkini, seorang penumpang perempuan yang viral dan terpaksa mengadu kepada sopir taksi online setelah mengalami kejadian pelecehan.

Mereka melakukan tracking hingga terkonfirmasi kejadian itu dan mereka menemukan data pelaku.

Saat mengomunikasikan kasus ini dengan pihak KAI Commuter, Joni Martinus yang biasanya jadi acuan di sana sebagai VP Corporate Communication, memastikan pihaknya tidak main-main menyikapi kasus seserius itu.

Pengelola Commuter Line memastikan akan menindak pelaku. Walaupun lagi-lagi, daya jangkau mereka untuk memberikan efek jera kepada pelaku hanya sesuai kewenangan mereka.

KAI Commuter melakukan blacklist atau sanksi larangan menggunakan Commuter Line bagi penumpang yang terdata pernah melakukan tindak asusila di dalam kereta.

Sementara terkait proses hukum, yang bisa mereka lakukan adalah pendampingan terhadap korban. Setidaknya di sini mereka sudah mengikuti kaidah semestinya, berpihak kepada korban, dan menguatkan korban untuk berani melaporkan kepada aparat berwenang.

Sayangnya, dari pengamatan atas kasus pelecehan di dalam Commuter Line, acap kali terbentur dalam tindak lanjut di kepolisian.

Panjangnya proses sangat menyita waktu. Korban sering terpaksa menyerah karena rutinitas dan kesibukan sebagai pekerja atau mahasiswi, hingga tidak bisa mengikuti semua prosedur di ranah hukum.

Tentu saja, problem di sini adalah panjangnya proses ketika akan membawa kasus itu ke depan hukum.

Setelah melapor ke kepolisian, mereka harus bolak-balik untuk tindak lanjut agar sampai ke pengadilan dan pelaku bisa mendapatkan sanksi setimpal. Ini yang sangat melelahkan korban, terlepas di sini mereka mendapatkan pendampingan dari KAI Commuter.

Data KAI Commuter, ada 57 kasus pelecehan seksual di dalam kereta dalam rentang waktu Januari hingga Oktober 2024. Dari sejumlah kasus itu, 50 kasus sampai ke kepolisian, selebihnya menolak memberikan laporan.

Catatan KAI Commuter juga, dari semua kasus yang sampai ke kepolisian, sebagian besar terhenti di sana. Prosedur hukum terlalu melelahkan bagi korban, hingga tak bisa berlanjut lebih jauh sampai vonis pengadilan.

Tak ayal pengelola transportasi itu, KAI Commuter, hanya dapat melakukan sesuai kewenangan mereka miliki melakukan kampanye lawan pelecehan, memberikan imbauan untuk mencegah pelecehan, dan memberikan pendampingan terhadap korban, berikut sanksi larangan atas pelaku menggunakan Commuter Line.

Butuh satu mekanisme yang lebih ramah terhadap korban, tanpa membuat mereka harus bolak-balik ke kantor polisi, dan proses hukum tetap berjalan hingga korban bisa mendapatkan keadilan.

Apalagi jamak diketahui, dalam setiap kasus pelecehan, korban cenderung terpukul secara psikologis, mengalami trauma, dan tak punya cukup tenaga jika harus mengikuti prosedur hukum yang terlalu menyita waktu dan tenaga mereka.

Sementara di saat yang sama, korban harus memulihkan dirinya dari trauma dan ketakutan, dan ini pun memakan waktu tidak singkat.

Jadi, problem serius dan berat bagi korban berada dalam proses hukum dan prosedur hukum yang belum terlihat berempati terhadap korban.

Dari 57 kasus pelecehan terjadi di dalam Commuter Line tahun lalu, hanya ada sanksi dari KAI Commuter terhadap pelaku berupa blacklist atau larangan menggunakan kereta, tetapi tidak ada hukuman pidana.

Tidak ada efek jera dari sisi hukum, karena prosedur hukum tadi yang belum sepenuhnya benar-benar berpihak kepada korban.

Alhasil, pelaku pelecehan terus bermunculan karena merasa takkan ada yang bisa menyeret mereka ke muka hukum hingga mendapatkan sanksi hukum lebih jauh.

Di sini, agaknya butuh perhatian ekstra, terutama bagi aparat hukum untuk bisa melihat kasus pelecehan ini sebagai masalah serius.

Tidak sesederhana menyelesaikannya dengan surat pernyataan di atas kertas yang ditandatangani pelaku bahwa mereka takkan mengulangi pelecehan. Hasil akhir yang sangat tidak berpihak kepada korban.

Untuk ini, hemat saya, butuh perhatian juga dari berbagai elemen untuk membantu korban ke depan untuk mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. Pelaku bisa diseret ke pengadilan dan mendapatkan sanksi setimpal hingga memberikan efek jera.

Agar kelak bisa menciptakan ruang aman yang lebih luas kepada semua orang, terutama perempuan, untuk bepergian ke mana saja dan dengan transportasi apa saja tanpa dihantui perasaan was-was jadi korban predator yang tak mengenal tempat.

Itu semua bisa diawali dengan empati terhadap korban. Sebab, bagaimanapun kejadian pelecehan itu sangat merugikan mereka. Selain dari sisi psikis, kehidupan sosial bahkan keseharian mereka takkan bisa berjalan sebagaimana mestinya.

KAI Commuter dan pengelola transportasi umum lainnya tak punya wewenang lebih jauh kecuali melakukan hal-hal sesuai kapasitas mereka miliki melakukan edukasi, kampanye untuk mencegah pelecehan, dan pendampingan terhadap korban.

Soal hukum, kuncinya ada pada aparat hukum, mau melihat kasus itu sebagai kasus serius atau masih menganggap itu semata kekhilafan sebagaimana dalih sebagian besar pelaku.

Keseriusan dan ketegasan hukum adalah bukti konkret yang dinanti-nanti korban. Apakah bisa terwujud?

Sumber