Militer Myanmar Lancarkan Puluhan Serangan meski Gencatan Senjata Usai Gempa

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Meskipun Myanmar baru saja dilanda gempa bumi besar yang menewaskan lebih dari 3.000 orang dan tengah menjalani gencatan senjata, militer negara tersebut dilaporkan melancarkan puluhan serangan.
Hal ini diungkapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (4/4/2025).
Konflik multi-pihak yang terjadi di Myanmar sejak 2021 semakin memanas setelah junta militer yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi.
Bentrokan sporadis terus berlanjut meskipun gempa bumi dahsyat mengguncang negara tersebut pada Jumat lalu.
Sebagai respons terhadap bencana alam tersebut, junta militer dan sejumlah kelompok oposisi sepakat untuk menghentikan permusuhan sementara pada Rabu (2/4/2025) guna memfasilitasi distribusi bantuan kemanusiaan.
Meski gencatan senjata diumumkan, laporan dari kantor hak asasi manusia PBB mencatat bahwa militer Myanmar telah melancarkan lebih dari 60 serangan sejak gempa tersebut.
James Rodehaver, Kepala Tim Kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk Myanmar, mengungkapkan adanya 16 laporan kredibel mengenai serangan udara yang masih berlangsung, termasuk di daerah terdampak gempa.
Rodehaver, yang memberikan penjelasan kepada wartawan di Jenewa menyatakan, "Selain itu, ada dua laporan serangan tambahan yang kami terima sejak pengarahan dimulai," menambahkan bahwa sebelumnya telah dilaporkan 14 serangan.
Sementara itu, Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk menegaskan bahwa gencatan senjata harus diikuti dengan akses segera dan tanpa hambatan bagi pekerja penyelamat serta organisasi kemanusiaan.
"Saya mendesak penghentian semua operasi militer, dan agar fokus diberikan pada bantuan kepada mereka yang terkena dampak gempa, serta memastikan akses tanpa hambatan ke organisasi kemanusiaan yang siap memberikan dukungan," ungkap Turk, seperti dikutip dari AFP.
Turk juga berharap agar tragedi yang mengguncang Myanmar ini dapat menjadi titik balik menuju solusi politik yang lebih inklusif bagi negara tersebut.