Pagar Laut dan Kerugian Negara yang Terabaikan

KASUS pembangunan pagar laut tanpa izin yang terjadi di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang menyoroti kelemahan sistem hukum dalam mengenali bentuk-bentuk kerugian negara yang lebih luas.
Di dua wilayah pesisir itu, ruang laut yang semestinya menjadi milik publik justru dipagar, dimanipulasi legalitasnya, dan dikuasai segelintir pihak.
Sayangnya, ketika kasus ini masuk ke ranah pidana, pendekatan hukum yang digunakan masih menitikberatkan pada kerugian keuangan negara secara formal.
Di Kabupaten Bekasi, tepatnya di Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Bareskrim Polri menetapkan sembilan tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen sertifikat hak milik (SHM) di area laut yang kemudian dijadikan jaminan pinjaman ke bank swasta.
Di antaranya adalah kepala desa aktif, mantan kepala desa, serta sejumlah staf desa.
Proyek pagar laut yang dibangun di wilayah itu mengakibatkan tertutupnya akses nelayan ke wilayah tangkap tradisional mereka.
Sementara di Kabupaten Tangerang, tepatnya di Desa Kohod, modus serupa terjadi wilayah laut direklamasi dan dipagari secara ilegal, diduga melalui penerbitan sertifikat tanah di area yang sebenarnya merupakan laut.
Empat orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk kepala desa setempat.
Menariknya, meski terdapat praktik manipulasi dokumen, penguasaan ruang laut tanpa izin, dan penghilangan akses publik, penyidik Bareskrim tidak menerapkan pasal korupsi.
Mereka menyatakan tidak ditemukan kerugian negara secara keuangan, sehingga perkara diproses hanya sebagai tindak pidana umum seperti pemalsuan dokumen (Kompas, 10/04/2025).
Namun, Kejaksaan Agung mengambil sikap berbeda. Pada 25 Maret 2025, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) mengembalikan berkas perkara atas nama tersangka Kepala Desa Kohod, Sekretaris Desa, dan dua pihak swasta kepada penyidik Bareskrim.
Pengembalian disertai petunjuk agar penyidikan dilanjutkan ke ranah tindak pidana korupsi, karena ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang dan potensi kerugian keuangan negara serta perekonomian negara akibat penguasaan ruang laut secara melawan hukum (Antaranews.com, 25/03/2025).
Hal serupa juga terjadi dalam kasus di Bekasi. Berkas perkara terhadap sembilan tersangka juga dikembalikan oleh Kejaksaan Agung kepada penyidik untuk dilengkapi.
Meski belum tersedia rincian resmi soal petunjuknya, langkah ini menunjukkan bahwa penegak hukum menyadari perlunya meninjau kembali dimensi kerugian negara yang lebih luas dibanding sekadar kehilangan keuangan secara formal (Tirto.id, 27/03/2025).
Dampak pagar laut terhadap kehidupan masyarakat pesisir tidak bisa diabaikan. Ombudsman Republik Indonesia mencatat sekitar 3.888 nelayan terdampak pembangunan pagar laut yang membatasi akses wilayah tangkap mereka. Kerugian ditaksir mencapai Rp 24 miliar (Kompas, 15/02/2024).
Nelayan kehilangan akses terhadap sumber penghidupan, sedangkan ruang laut yang semestinya menjadi milik publik justru dikuasai secara eksklusif.
Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjatuhkan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 48 miliar kepada pihak perusahaan yang membangun pagar laut tersebut, karena memanfaatkan ruang laut tanpa izin yang sah (Kompas, 05/03/2024).
Sayangnya, sanksi administratif tidak serta-merta menggantikan proses pidana. Ketika kerugian negara hanya dipahami secara sempit sebagai kerugian keuangan formal, aspek kerusakan ekologi dan pelanggaran hak sosial masyarakat pesisir menjadi luput dari jangkauan hukum pidana.
Akibatnya, pelaku kejahatan lingkungan cenderung merasa aman, karena selama tidak ada uang negara yang tercatat “hilang” dalam pembukuan, tindakan mereka tidak dianggap melawan hukum secara pidana.
Ini menciptakan celah impunitas berbahaya penguasaan ruang laut, perusakan ekosistem, dan penghilangan akses masyarakat dapat berlangsung terus-menerus tanpa efek jera.
Dalam jangka panjang, praktik semacam ini membuka ruang reproduksi kejahatan struktural—di mana sumber daya publik dikuasai segelintir pihak, sementara negara justru kehilangan kendali atas mandat pengelolaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Konstitusi menegaskan bahwa sumber daya alam, termasuk laut, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945).
Maka, ketika akses masyarakat terhadap laut terganggu oleh praktik privatisasi ruang publik, sejatinya negara mengalami kerugian konstitusional.
Namun, hingga kini belum ada standar baku dalam sistem hukum pidana nasional yang memasukkan kerusakan lingkungan dan hilangnya fungsi sosial-ekonomi sumber daya alam sebagai kerugian negara.
Kasus pagar laut menunjukkan betapa hukum kita belum sepenuhnya mengakui dimensi ekologis sebagai bagian integral dari perlindungan kepentingan publik.
Beberapa negara telah mengembangkan pendekatan penilaian terhadap kekayaan alam dan kerugiannya melalui konsep natural capital accounting.
Pendekatan ini memungkinkan nilai ekonomi ekosistem dihitung dan dimasukkan dalam perhitungan kerugian negara.
Dalam beberapa kasus perdata di Indonesia, valuasi lingkungan sudah mulai digunakan untuk menentukan besaran ganti rugi terhadap pelaku pencemaran.
Artinya, sebenarnya telah ada celah bagi pengembangan pendekatan ekologis dalam sistem hukum di Indonesia.
Yang dibutuhkan adalah kemauan politik dan keberanian kelembagaan untuk mendorong agar perusakan sumber daya alam tidak hanya diproses secara administratif, tetapi juga dapat dikenai pidana korupsi bila terbukti merugikan negara dan menguntungkan pihak tertentu secara melawan hukum.
Kasus pagar laut di Bekasi dan Tangerang menunjukkan secara jelas perlunya pembaruan cara pandang penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan.
Hukum pidana harus berkembang agar mampu mengenali bentuk-bentuk kerugian negara yang lebih luas, termasuk yang berasal dari perusakan ekologi dan perampasan hak-hak masyarakat atas sumber daya alam.
Negara tidak boleh abai ketika kekayaan alamnya dirusak dan masyarakat pesisir kehilangan penghidupan.
Penegakan hukum yang adil dan progresif akan memberi pesan kuat bahwa laut adalah milik publik, dan tidak bisa dikuasai secara diam-diam untuk kepentingan kelompok tertentu.
Jika tidak, maka kita akan terus menyaksikan laut dijadikan arena eksploitasi tanpa kendali, sementara masyarakat yang bergantung padanya justru menjadi korban yang tidak terdengar.