Tinggalkan Hangatnya Masakan Ibu, Mahasiswa Rantau Kembali ke Hidup Mandiri

JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah melewati momen penuh kebahagiaan di hari Lebaran, kini saatnya bagi para pemudik, khususnya mahasiswa rantau, untuk kembali melanjutkan aktivitas mereka di perantauan.
Mereka kini kembali ke tempat belajar dan membawa nuansa yang berbeda, meninggalkan suasana hangat kebersamaan dengan keluarga untuk kembali ke kehidupan mandiri.
Fauzan, seorang mahasiswa berusia 19 tahun yang telah menetap di Purwokerto sejak menempuh pendidikan di SMK, mengungkapkan perasaannya.
“Sedih sih. Sekarang jadi semuanya mikir sendiri, kan. Makan, kalau mau beli, beli. Kalau enggak, masak biasanya,” ujarnya kepada Kompas.com di Stasiun Pasar Senen, Selasa (8/4/2025).
Kembali ke perantauan memang membawa tantangan tersendiri. Ilham (21), mahasiswa Universitas Gadjah Mada, juga merasakan hal serupa.
Setelah berkumpul dengan sanak saudara di Medan, kesedihan menyelimuti hatinya saat harus kembali.
“Yah sedih tuh pasti ada, cuma ya mau gimana, karena sudah tanggung jawab saya di sini, jadi ya diselesaikan dulu,” ungkapnya.
Saat libur Lebaran, Ilham menghabiskan waktu dua minggu di rumah. Selain bisa berkumpul dengan keluarga. Ilham juga akhirnya bisa mencicipi masakan ibunya lagi.
“Kalau sore biasanya kalo di sini nyari makanan sendiri, kalau di rumah udah dimasakin sama mama, lebih enak lagi,” ucap dia.
Hari Lebaran menjadi waktu yang ditunggu-tunggu, di mana ia dapat berkumpul dan berbagi cerita dengan keluarga.
"Ketika Lebaran itu kan hari kebahagiaan ya, jadi ketika Lebaran itu yang ditunggu-tunggu momen berkumpul sama keluarga. Bisa saling sharing, saling ngobrol,” tambahnya.
Perasaan sedih ini pun tidak menghentikannya untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai mahasiswa.
Sementara itu, Nindi (18) merasakan kesedihan yang lebih mendalam. Pasalnya, ia sudah dua tahun dia tidak pulang ke rumah.
Ketika kesempatan liburan panjang Lebaran tiba, ia merasa sangat beruntung bisa kembali ke Lampung.
“Kalau ada libur panjang saja pulangnya. Kalau enggak pulang, Lebarannya di sana sama Mbah,” ujarnya saat menunggu jemputan menuju Bandara Soekarno Hatta.
Setelah bertemu dengan keluarganya, Nindi merasakan beragam emosi.
“Rasanya campur aduk. Rasa seneng ada, rasa sedih juga ada, pengen pulang lagi kan, karena udah dua tahun nggak ketemu juga. Jadi campur aduk aja gitu perasaannya,” jelasnya.
Namun, saat harus berpisah lagi, dia merasa berat. Dua tahun di perantauan hanya terbayar dengan dua minggu kebersamaan.
“Kurang lama saja sih. Cuma dua minggu kan? Kepotong waktu di jalan juga,” keluhnya.

