Energi Terbarukan

Indonesia Bidik Guyuran Investasi Rp1.884 Triliun pada 2025

Indonesia Bidik Guyuran Investasi Rp1.884 Triliun pada 2025

()

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menargetkan Indonesia bisa mengantongi investasi senilai US$120 miliar atau sekitar Rp1.884 triliun (kurs Rp15.757 per dolar AS) pada 2025 baik dari asing maupun lokal.

Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan P. Roeslani mengatakan bahwa investasi jumbo itu akan digunakan untuk menggenjot energi terbarukan.

“Target untuk tahun depan sebenarnya adalah sekitar US$120 miliar investasi asing dan lokal dan kami ingin memiliki lebih banyak investasi, terutama dalam energi terbarukan, yang berorientasi pada ekspor,” ujarnya dalam acara Gala Dinner Kadin Indonesia dengan Duta Besar di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Jumat (1/11/2024).

Pendanaan EBT Kurang, Penyesuaian Tarif Listrik hingga Insentif Pajak Diperlukan

Pendanaan EBT Kurang, Penyesuaian Tarif Listrik hingga Insentif Pajak Diperlukan

()

Bisnis.com, JAKARTA - Institute Essential for Services Reform (IESR) menilai keterbatasan kemampuan investasi PT PLN (Persero) menjadi salah satu hambatan utama dalam mengakselerasi pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).  

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, margin usaha yang bisa diinvestasikan juga kecil. Menurutnya, margin usaha yang bisa diinvestasikan itu hanya sebesar US$2 miliar hingga US$3 miliar per tahun. 

"Idealnya PT PLN memiliki equity US$5 miliar hingga US$6 miliar per tahun. Selain itu, karena tingkat utang PLN besar, ada keterbatasan menarik pinjaman baru," kata Fabby kepada Bisnis, Selasa (29/10/2024). 

Target Energi Terbarukan Meleset, BPK Sebut Pendanaan Masih Kurang

Target Energi Terbarukan Meleset, BPK Sebut Pendanaan Masih Kurang

()

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa kesiapan pendanaan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) belum memadai.Hal ini sebagaimana tertulis dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2024. BPK mengungkapkan terdapat keterbatasan operator listrik untuk mendanai pembangunan pembangkit energi terbarukan.Menurut BPK, secara keseluruhan selama 2021 sampai dengan semester I/2023, realisasi pendanaan yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur tenaga listrik dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT PLN (Persero) di bawah kebutuhan pendanaan yang diperlukan.BPK mencatat dari investasi yang dianggarkan sebesar Rp230,2 triliun, hanya terealisasi sebesar Rp138,2 triliun atau sebesar 60,03% dari RKAP atau sebesar 28,39% dari proyeksi investasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)."Selain itu, skema pendanaan pengembangan EBT belum terealisasi secara optimal di mana belum ada penyusunan komite pengarah yang mendukung skema pendanaan Energy Transition Mechanism [ETM], serta belum terbentuknya struktur tata kelola Just Energy Transition Partnership [JETP]," demikian bunyi laporan IHPS I-2024 BPK dikutip Senin (28/10/2024).BPK pun menilai hal tersebut mengakibatkan tidak tercapainya proyek pengembangan EBT dan bauran EBT sesuai target dan potensi defisit kelistrikan di beberapa daerah.Berdasarkan hal tersebut, BPK merekomendasikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia segera melakukan perbaikan antara lain berkoordinasi dengan Kemenkomarves, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN. Koordinasi itu untuk mendorong penyusunan komite pengarah skema pendanaan ETM, penyusunan struktur tata kelola JETP, mengidentifikasi secara detil skema, sumber, dan pembagian porsi pendanaan. "Serta mendorong lembaga keuangan dalam negeri untuk mampu membiayai pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan suku bunga yang kompetitif," imbuh BPK.Lebih lanjut, BPK juga mengungkapkan bahwa kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) menimbulkan hambatan signifikan dalam pembangunan pembangkit EBT. Hal tersebut terjadi karena belum memadainya kapasitas produksi pembangkit EBT dalam negeri.Selain itu, juga terdapat pendanaan proyek pembangunan pembangkit EBT yang terkendala klausul TKDN.BPK menyebut Lembaga keuangan seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank, Japan Internasional Coopera on Agency (JICA) hingga bank pembangunan dan investasi Jerman yaitu Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KFW) Bankengruppe menganggap kebijakan unsur TKDN tidak selaras dengan batas minimal yang ditetapkan oleh masing-masing bank."Hal ini mengakibatkan adanya risiko pembatalan pendanaan dari luar negeri, keterlambatan COD proyek dan pemenuhan kebutuhan listrik, biaya proyek menjadi jauh lebih tinggi karena delay dan penalti, serta klaim penjaminan pemerintah," tulis BPK.BPK pun telah merekomendasikan Bahlil untuk segera melakukan perbaikan. Upaya ini antara lain berkoordinasi dengan Kemenkomarves dan Kementerian Perindustrian terkait evaluasi keselarasan regulasi atas persyaratan TKDN dan pengadaan."Sehingga dapat mengakomodasi pendanaan dari luar negeri tanpa mengorbankan pembangunan industri dalam negeri danpengembangan EBT," kata BPK.

Kagama Beri 1 Solusi untuk Urai 3 Tantangan Transisi Energi

Kagama Beri 1 Solusi untuk Urai 3 Tantangan Transisi Energi

()

Bisnis.com, JAKARTA - Transisi energi dihadapkan dengan trilema energi atau 3 tantangan penyelarasan antara keamanan pasokan, keterjangkauan, dan pertimbangan lingkungan. Ketiganya dapat terwujud melalui gotong royong berbagai pemangku kepentingan. 

Untuk mengungkap strategi jitu mewujudkan transisi energi, Komunitas Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Persma bersama dengan Bisnis Indonesia menggelar seminar bertajuk ‘Masa Depan Transisi Energi di Indonesia’. 

Vice President Transisi Energi & Keberlanjutan PT PLN Anindita mengatakan pihaknya memiliki target menekan emisi hingga 101 miliar ton untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2060. Kendati demikian, transisi energi harus diimbangi dengan trilema energi.