Komunikasi Publik Prabowo dan Diskursus Masyarakat Digital

SETIAP pemimpin memiliki karakter dan gaya komunikasi publik yang diferensiatif atau berbeda-beda. Gaya komunikasi publik juga berkaitan dengan model kepemimpinan yang diterapkan untuk mengatur institusi makro seperti negara.
Dalam hal ini, Prabowo Subianto sebagai Presiden RI ke-8 memiliki gaya komunikasi publik yang menarik untuk dianalisis. Mengingat, Prabowo terkenal sebagai sosok pemimpin yang tegas, terkadang “blak-blakan”, dan memiliki nada bicara yang tinggi.
Latar belakang militer selama puluhan tahun juga membentuk Prabowo sebagai individu yang inheren akan nilai nasionalisme.
Aspek ini juga yang menjadi nilai-jual Prabowo selama berkarier di dunia politik praktis pasca-Orde Baru. Terutama, ketika dirinya mengikuti kontestasi elektoral dari 2009 hingga 2024 lalu.
Walaupun begitu, selama berkontestasi secara politik hingga menjabat sebagai Presiden RI, Prabowo acap kali melakukan beberapa kesalahan dalam komunikasi publik.
Sehingga menimbulkan reaksi negatif dan melahirkan diskursus kritis dari masyarakat jaringan di Indonesia maupun luar negeri.
Pada Minggu (6/4), Prabowo melakukan wawancara eksklusif bersama tujuh jurnalis senior selama kurang lebih tiga jam.
Secara kontekstual, jurnalis senior tersebut menanyakan berbagai pertanyaan kritis mengenai isu sosial, politik, ekonomi, hingga isu-isu lain yang bersifat aktual-negatif.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, Prabowo menunjukkan bahwa dirinya tidak takut bertemu pers dan menjawab berbagai pertanyaan kritis dari para jurnalis senior.
Hal ini mencerminkan demokratisasi ide yang dimanifestasikan dalam eksistensi pers di Indonesia dengan membuka kesempatan untuk bertanya apa saja.
Dalam buku “Media and Democracy” oleh James Curran (2011) menjelaskan bahwa demokratisasi pers tidak hanya memberikan kesempatan bagi media untuk menjalankan fungsionalitasnya dalam konteks praksis—seperti menulis, memberitakan informasi, dan investigasi.
Demokratisasi pers juga membuka kesempatan adanya informasi berbeda kepada suatu objek pemberitaan.
Demokratisasi pers menolak adanya homogenisasi informasi yang memiliki tendensi untuk melakukan ”positive framing” terhadap objek pemberitaan tertentu.
Kembali pada konteks wawancara eksklusif, terdapat beberapa permasalahan substansial dalam komunikasi publik Prabowo ketika menjawab pertanyaan dari para jurnalis senior.
Misalnya, ketika ditanya mengenai demonstrasi dari masyarakat sipil terhadap isu keputusan Mahkamah Konstitusi dan RUU TNI.
Jawaban dari Prabowo cenderung menyudutkan masyarakat sipil dengan berdalih demonstrasi tersebut dibayar pihak tertentu. Kemudian, Prabowo mengaku menghormati demonstrasi yang damai dan tidak rusuh.
”Kalau ada abusive, ya, kita harus investigasi, proses secara hukum kalau abusive. Tapi coba perhatikan secara objektif dan jujur. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar. Harus objektif, dong," jawab Prabowo.
Secara substansial, Prabowo mencoba untuk keluar dari substansi pertanyaan dan memberikan respons tendensius.
Bahkan, Prabowo beranggapan bahwa gerakan sosial dari masyarakat sipil bukan murni karena keresahan kolektif, tapi bersifat transaksional dan penuh intensi politik.
Gaya komunikasi publik dari Prabowo yang ”blak-blakan” cenderung memperkeruh substansi dan tidak menjawab secara komprehensif terhadap pertanyaan yang diajukan oleh para jurnalis.
Oleh karena itu, selama tiga jam wawancara, Prabowo terlihat kesulitan untuk mengimbangi pertanyaan kritis dari jurnalis.
Video wawancara eksklusif bersama Prabowo telah diunggah di Youtube dan ditonton lebih dari satu juta orang.
Berbagai reaksi dari warganet memenuhi kolom komentar di Youtube yang melahirkan diskursus dalam ruang digital lain, seperti Instagram, X (Twitter), dan TikTok.
Media sosial menjadi platform yang strategis untuk masyarakat digital (digital society) berkomentar, memberikan argumentasi, mendistribusikan gagasan, hingga mendiskusikan suatu isu-isu tertentu.
Dalam hal ini, gaya komunikasi publik dari Prabowo menjadi sorotan di berbagai media sosial.
Tidak hanya menyoroti jawaban Prabowo ketika wawancara bersama jurnalis, tapi juga gaya komunikasi publik di beberapa kegiatan pemerintah lain.
Misalnya, ketika Prabowo membahas kebijakan bersama petani di Majalengka (7/4), di mana Prabowo menyampaikan bahwa terkadang orang terlalu pintar tidak menjadi apa-apa.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan orang-orang tulus dan membuat kebijakan yang rasional, bukan kebijakan yang perlu terlalu orang pintar.
Secara implisit, Prabowo memperlihatkan tendensius terhadap orang pintar di Indonesia.
"Saya menerima mandat Oktober 20, mungkin sekarang baru masuk bulan keenam. Tapi, dengan niat yang baik dari semua pihak, yang diberi amanat terhadap rakyat, dengan kebijakan yang masuk akal, bukan kebijakan yang perlu orang terlalu pintar," tutur Prabowo.
Gaya komunikasi publik dari Prabowo yang terkadang ”ceplas-ceplos” membuatnya sangat rentan melakukan blunder dan menghasilkan miskomunikasi kepada publik.
Dari hal ini, terlihat bahwa pemerintah seperti antiorang pintar dan menjauhi sistem meritokrasi yang mengakomodasi jabatan sesuai kemampuannya.
Prabowo bersama pemerintah harus melakukan evaluasi terukur terhadap gaya komunikasi publik yang lebih efektif, strategis, dan proporsional terhadap suatu isu.
Optimalisasi peran terhadap PCO (Presidential Communication Office) menjadi penting untuk memitigasi miskomunikasi dari pemerintah terhadap isu-isu strategis.
Dengan melakukan evaluasi, maka pemerintah dapat lebih efektif mendiseminasikan informasi kepada publik secara proporsional. Sebab, acap kali kegaduhan di publik dimulai dari kesalahan ucap atau komunikasi publik dari pemerintah terhadap isu sensitif.






