Penjual Makanan Area Perkantoran Keluhkan Kebijakan WFH, Bikin Pendapatan Menurun Drastis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah penjual makanan di sekitar kawasan perkantoran Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat, mengeluhkan kebijakan work from home (WFH) bagi para pekerja kantoran usai libur Lebaran karena berdampak pada pendapatan mereka.
“Kalau WFH, saya jadi sedih karena memengaruhi pendapatan banget untuk semua penjual di sini. Pusing saya, kalau pekerja WFH,” kata salah seorang pedagang nasi uduk, Mamat (60), kepada Kompas.com, Selasa (8/4/2025).
Mamat menyampaikan, pendapatannya dalam menjual nasi uduk bisa berkurang sekitar 50 persen ketika pekerja kantoran WFH.
Hal ini terasa memberatkan baginya sehingga ia ingin tak ada kebijakan WFH bagi para pekerja kantoran.
“Saya sehari mendapatkan penghasilan mencapai Rp 600.000. Kalau WFH bisa berkurang banyak banget, cuma Rp 200.000 atau Rp 300.000 per hari,” jelas dia.
Keluhan serupa disampaikan oleh Isah (44), pedagang pecel ayam. Ia mengaku kebijakan WFH membuat jumlah pembelinya menurun drastis.
“WFH memengaruhi saya banget karena pembeli jadi enggak ada. Biasanya, pembeli orang kantor, tapi kalau banyak WFH jadi sepi banget,” ucap dia.
Isah berharap kebijakan WFH tidak diterapkan lagi karena penghasilannya bergantung pada kehadiran pekerja kantoran.
“Saya maunya kantor enggak WFH, karena kami bergantung dengan pekerja kantoran. Kalau mereka libur, itu memengaruhi penjual banget. Kalau pekerja WFH, penjual makanan juga yang kena,” tutur dia.
Isah mengaku, kebijakan WFH memengaruhi pendapatannya dalam berjualan.
“Biasanya, penghasilan Rp 600.000–Rp 800.000, kalau WFH berkurang banget menjadi Rp 200.000,” kata Isah.
Toni (43), pedagang nasi dan aneka lauk, juga merasakan dampak yang sama. Ia mengaku pembelinya berkurang drastis karena kebanyakan merupakan pekerja kantoran.
“WFH juga memengaruhi saya banget, sepi banget pembelinya karena di sini lebih banyak yang beli dari pekerja kantoran,” kata Toni.
Toni mengatakan, WFH memengaruhi pendapatannya, dari yang bisa mendapat lebih dari Rp 800.000 per hari menjadi sekitar Rp 300.000 saat WFH diberlakukan.
“WFH ini kan berimbas pada semua pedagang, kami juga kena,” ujar dia.
Toni pun berharap agar kebijakan WFH tidak terus-menerus diberlakukan.
“Saya maunya enggak ada WFH bagi pekerja kantoran karena biar saya kecipratan rezeki juga,” ungkap Toni.