Revisi KUHAP Berpotensi Ganggu Kebebasan Pers: Live Sidang Harus Izin

Revisi KUHAP Berpotensi Ganggu Kebebasan Pers: Live Sidang Harus Izin

JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu pasal dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berpotensi mengganggu kebebasan pers dalam meliput persidangan.

Dalam Pasal 253 ayat (3) dalam revisi KUHAP berbunyi "Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan".

Pasal tersebut ditentang oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), karena untuk menyiarkan secara langsung atau live report persidangan haruslah terlebih dahulu mendapatkan izin dari pengadilan.

"Kami dari AJI, kita melihat ada beberapa pasal di dalam KUHAP itu yang ternyata kita anggap mengganggu kebebasan pers. Misalnya, sidang itu tertutup, atau harus streaming, dan harus ada semacam izin dari ketua pengadilan," ujar Ketua AJI, Nany Afrida di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

Menurut Nany, pembatasan akses media terhadap proses persidangan justru bertentangan dengan prinsip transparansi yang menjadi bagian dari kerja jurnalistik.

Peliputan sidang oleh media merupakan bagian dari hak publik untuk mengetahui informasi tentang suatu proses hukum, terlebih jika kasus yang disidangkan melibatkan kepentingan umum seperti kasus korupsi.

"Karena itu hak semua bangsa. Maksudnya, itu kan ada hubungan dengan kepentingan umum ketika sebuah proses pengadilan itu terjadi. Apalagi kalau melibatkan kepentingan umum, seperti korupsi, pembunuhan berencana, dan lain-lain," ujar Nany.

Memang terdapat situasi tertentu yang mengharuskan persidangan digelar secara tertutup, seperti pada perkara kekerasan seksual.

Namun, ia yakin bahwa jurnalis memahami batasan-batasan tersebut dan tetap berpegang pada etika peliputan dalam menjalankan kerja jurnalistik.

"Sekarang yang paling penting adalah membuka akses buat jurnalis juga untuk tahu apa yang terjadi di dalam pengadilan. Makanya kami dari AJI itu semangat untuk, kalau bisa jangan mengganggu kerja-kerja kita sebagai jurnalis," ujar Nany.

Berbeda dengan AJI, advokat Juniver Girsang justru sepakat dengan Pasal 253 ayat (3) dalam revisi KUHAP.

Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR, ia berpendapat bahwa siaran langsung atau live dalam persidangan dapat mengganggu keterangan para saksi.

"Kenapa ini harus kita setuju? Karena orang dalam persidangan pidana kalau diliput langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling mempengaruhi, bisa nyontek, itu kita setuju itu," kata Juniver.

Kendati demikian, ia menekankan siaran langsung proses persidangan dibolehkan jika majelis hakim yang langsung memberikan izin dengan berbagai pertimbangannya.

"Dilarang mempublikasikan atau liputan langsung, tanpa seizin, bisa saja diizinkan oleh hakim, tentu ada pertimbangannya," jelas Juniver.

Sumber