Trump Hidupkan Neoimperialisme

PEMIKIR kebhinekaan Sukidi Mulyadi PhD lama tinggal di Amerika Serikat. Lebih dari sepuluh tahun tinggal di sana.
Ia menyelesaikan studi master dan PhD di Harvard University. Unversitas ternama. Karena itulah, dia sangat mengenal perilaku politik dan demokrasi di Amerika.
Ia mengaku tidak kaget melihat keputusan Presiden Donald Trump memberlakukan tarif resiprokal yang menggoncang dunia.
Sukidi saya undang dalam program Satu Meja The Forum, Rabu malam. Sebelum Trump mengumumkan Liberation Day dengan mengumumkan trade war, Sukidi menulis di Harian Kompas agar bangsa ini mempersiapkan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan terburuk. Hope for the best. Prepare for the worst.
Ia melihat, kebijakan resiprokal adalah bentuk dan watak kepemimpinan otoriter seorang Trump yang dibalut dengan populisme.
Menaikkan tarif impor dinarasikan sebagai bentuk keberpihakan Trump terhadap pelaku ekonomi Amerika, tapi itu hanya populisme palsu atau fraudulent populism.
“Jadi Trump sebenarnya menghidupkan neoimperalisme. Visi neoimperialisme yang ingin terlihat di mata dunia bahwa Trump lah pemimpin dunia dan kalian semua pemimpin dari dunia harus datang ke saya untuk melakukan negosiasi,” kata putra asal Sragen, Jawa Tengah.
Trump tengah mempraktikkan perilaku otoriter yang berpandangan seolah-olah ia adalah pemimpin dunia. Bisa mendikte perekonomian global, dan tiap negara harus memohon-mohon padanya agar mendapat kemudahan.
Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Trump mengundang gejolak dunia internasional. Banyak negara di dunia yang perekonomiannya akan terdampak akibat kebijakan penyesuaian tarif impor AS itu, termasuk Indonesia.
Meski penerapannya ditunda 90 hari dari yang seharusnya mulai diterapkan per 9 April 2025, tapi tarif impor ke AS untuk Indonesia sudah ditentukan, yakni 32 persen. Ini tentu akan berdampak pada harga akhir produk ekspor di Amerika Serikat.
Harga yang melambung tinggi akan berkorelasi dengan menurunnya permintaan dari konsumen yang akhirnya akan melemahkan usaha di dalam negeri.
Kebijakan itu akan memperberat permasalahan PHK di Indonesia. Tanpa ada kebijakan itu saja PHK sudah dan masih terus terjadi di berbagai perusahaan di dalam negeri.
Apalagi jika kebijakan tarif impor baru itu diterapkan. Bangsa ini menghadapi satu pukulan ganda, PHK yang telah dan sedang berlangsung ditambah kemungkinan PHK baru terhadap pekerja lain.
Dalam artikel di Kompas, Sukidi mengajak semua pimpinan untuk menyadari bahwa ada kemungkinan terburuk yang mungkin dialami Indonesia pada waktu mendatang.
“Kemungkinan terburuk itu bukan datang dari antek asing, tapi justru dari musuh di dalam diri bangsa. Kita menyadari betapa sulitnya perjuangan kita melawan perilaku pemimpin yang korup. Dan korupsi ini buat saya adalah pembunuh utama ekonomi bangsa,” jelas Sukidi.
Jadi, permasalahan ekonomi juga ada di dalam tubuh negara bangsa sendiri. Negara ini harus dikembalikan fungsinya untuk melayani rakyat. Bukan justru untuk bertindak jahat.
Kini, sistem yang berjalan di Indonesia sudah sedemikian rusak. Tingkat kerusakan yang demikian parah bahkan mampu membuat orang-orang baik yang ada di dalam sistem turut melakukan kejahatan.
Inilah yang harus diperbaiki terlebih dahulu karena sangat destruktif terhadap perekonomian negara. Terlebih di tengah ketidakpastian global.
Konflik kepentingaan terjadi. Rangkap jabatan menteri, wakil menteri dengan jabatan yang dilarang undang-undang terjadi di depan mata.
Namun, semuanya diam. DPR diam. Ormas diam. Partai politik mengalami disfungsi karena tersandera berbagai problem atau menjadi penikmat rente.
“Saya khawatir ini semua menjadi kegagalan demokrasi,” ujar Imaduddin Abdullah, PhD, Direktur Kolaborasi Internasional Indef dalam satu siniar dengan saya.
Kegagalan demorasi terbayang di depan mata. Demokrasi prosedural melahirkan pemimpin seperti Trump yang kemudian mengacak-acak prinsip demokrasi, mengacak-acak konstitusi, demi kekuasaan.
Partai politik telah gagal menjadi filter tokoh yang sebenarnya punya pandangan anti-demokrasi.
Lanskap politik itulah yang menjadi latar terbitnya buku “How Democracies Die” yang ditulis David Ziblatt dan Steven Levistky.
Kematian demokrasi di abad ke-21 tidak lagi terjadi secara brutal melalui kudeta militer, melainkan melalui proses lambat, legal, dan dilakukan pemimpin yang justru terpilih secara demokratis.
Dalam bukunya, Ziblatt menekankan pentingnya dua norma pelindung demokrasi. Pertama, mutual toleration atau pengakuan bahwa lawan politik memiliki hak yang sah untuk eksis dan bersaing.
Kedua, institusional forbearance, kesediaan untuk tidak menggunakan seluruh kekuasaan hukum yang tersedia demi menjaga keseimbangan kekuasaan.
Ketika elite politik mulai kehilangan kedua norma ini, demokrasi mulai retak dan akan mati digantikan corak pemimpun populis-otoriter.
Kebijakan Trump bukan sekadar kebijakan ekonomi. Ia adalah instrumen politik populis yang memperdalam polarisasi domestik, melemahkan lembaga dan norma demokrasi, menyebarkan ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi global.
Bangsa ini menghadapi tantangan besar menjaga kepentingan nasional tanpa harus terjebak dalam tarik-menarik kekuatan besar.
Langkah strategis perlu dirumuskan selain tentunya langkah taktis. Kita sibuk merespons dampak, tapi belum tampak visi jangka panjang.
Terus berkutat pada soal sektoral, mengkonsolidasikan kekuatan, tapi melupakan perbaikan tata kelola.
Akankah kita bersuara dalam forum global, atau hanya menyesuaikan diri dengan arah angin dalam politik global? Sejarah tidak akan berpihak pada yang diam.